Kamis, 11 September 2008

SEJARAH KONSTITUSI

SEJARAH konstitusi Indonesia mengalami pasang surut yang cukup
panjang. Terjadi tiga kali pergantian konstitusi mulai UUD 1945, UUD
RIS, kemudian UUDS 1950.
Sejak dirumuskannya pada tahun 1945 sampai tahun 1959, masalah
konstitusi menjadi salah satu fokus perdebatan antarkelompok bangsa
yang sampai satu titik-di forum Konstituante (1956-1959)-sungguh
menegangkan. Hal itu disebabkan saratnya nuansa politik dan ideologis,
yang bermuara pada kehendak memasukkan alam pikiran ideologi dan
politik ke dalam rumusan konstitusi.
Walau demikian, hal demikian tadi sebenarnya wajar dan realistik saja,
melihat kedudukan dan fungsi konstitusi yang demikian penting dalam
kehidupan bangsa dan penyelenggaraan negara.
Dalam perkembangannya, perbincangan mengenai konstitusi mengalami masa
vakum (atau reda) sama sekali sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai
akhir pemerintahan Presiden Soeharto (1998). Trauma atas perdebatan
ideologis dan pengkotakan masyarakat berdasar sikap politik kaum
elitnya di Konstituante menyebabkan UUD 1945 diposisikan sebagai
"jalan keluar" paling aman bagi negara Indonesia.
Adnan Buyung Nasution melalui disertasi doktornya akhirnya membongkar
"mitos" kegagalan Konstituante. Menurut Buyung, mitos itu lebih
merupakan rekayasa politik. Ia ungkapkan bahwa usaha anggota
Konstituante untuk merampungkan tatanan yang akan memperkuat negara
konstitusional sudah hampir selesai ketika ada rekayasa politik yang
mematahkan dialog di Konstituante, dan bahkan lalu menyebabkan
pembubaran badan pembentuk UUD itu.
Hasil penyelidikan Buyung di berbagai perpustakaan membuktikan bahwa
hasil yang dicapai Konstituante cukup besar. Ia menyebutkan dalam tiga
aspek yakni: penegasan komitmen terhadap demokrasi; penegasan komitmen
terhadap hak-hak asasi manusia; dan pengakuan atas masalah kekuasaan.
"Piagam Bandung"-sebutan untuk kumpulan hasil-hasil Konstituante itu
yang amat jarang orang mengetahui-merangkum hasil-hasil Konstituante
dan merupakan rumusan sebuah konstitusi yang (sesungguhnya) amat baik.
***
PADA masa pemerintahan Soeharto (1966-1998) perdebatan
konstitusi-ilmiah sekalipun-sulit dilakukan. Pemerintah melakukan
langkah-langkah sistematis yang pada akhirnya memposisikan UUD 1945
menjadi "kitab suci" negara yang tak boleh diutak-atik, tabu
dipertanyakan, dan haram diubah. Konstitusi yang dirumuskan oleh
tokoh-tokoh pendiri negara, menjadi barang "sakral".
Bagi orang-orang yang mempunyai pemikiran kritis dan alternatif
terhadap konstitusi ini, penguasa meresponnya dengan tindakan represif
dan sering mencapnya sebagai tindakan subversif yang berujung ke
penjara.
Perdebatan publik menyangkut konstitusi baru mencuat lagi 40 tahun
setelah Dekrit Presiden, dengan adanya gerakan reformasi yang
me-lengser-kan Presiden Soeharto. Tuntutan untuk mengamandemen UUD
1945 menjadi salah satu agenda reformasi. Isu amandemen ini didukung
berbagai kekuatan sosial dan politik, termasuk TNI-Polri yang selama
era Orde Baru menjadi andalan yang "mengamankan" UUD 1945 dari kritik
dan upaya perubahan.
Forum kenegaraan yang melakukan pembahasan amandemen tersebut adalah
SU MPR tahun 1999. Media massa-baik cetak maupun elektronik telah
meliput proses pembahasan amandemen UUD 1945 untuk diinformasikan
kepada masyarakat. Tetapi karena keterbatasan waktu dan kolom, masih
banyak aspek dan dinamika pembahasan amandemen UUD 1945 dalam
forum-forum SU MPR itu yang belum terungkap ke publik.
***
BUKU Reformasi Konstitusi Indonesia: Perubahan Pertama UUD 1945 ini
terbit untuk menjawab kebutuhan tersebut. Buku ini secara mendalam
menguraikan apa yang terjadi dan berkembang dalam forum-forum
pembahasan perubahan UUD 1945 selama SU MPR 1999. Hal itu dimungkinkan
karena buku ini menjadikan Risalah SU MPR RI Tahun 1999 yang
dikeluarkan Setjen MPR sebagai sumber referensi utama.
Dari buku itu pembaca dapat mengikuti alur pembicaraan, perdebatan,
persaingan, dan pergumulan, gagasan-gagasan mengenai perubahan
konstitusi yang diperjuangkan sebelas fraksi MPR. Di sinilah letak
kelebihan dan keistimewaan buku ini.
Kelebihan dan keistimewaan lainnya dari buku ini adalah penulisnya,
Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim. Slamet Effendy Yusuf, salah
seorang Ketua DPP Partai Golkar, adalah pelaku langsung proses
pembahasan perubahan konstitusi di dalam forum (selaku Wakil Ketua PAH
III BP MPR dan Wakil Ketua Komisi C MPR merangkap anggota). Sedangkan
Umar Basalim, saat itu adalah Wakil Sekjen MPR (sekarang Sekjen MPR)
yang terlibat melayani teknis administratif serta operasional SU MPR
1999.
Buku ini terdiri dari enam bab, yaitu Bab I Pendahuluan; Bab II
Tuntutan Perubahan UUD 1945; Bab III Pandangan Partai Politik tentang
Perubahan UUD 1945; Bab IV Pembahasan dan Hasil; Bab V Makna Perubahan
Pertama UUD 1945; dan Bab VI Penutup.
Beberapa lampiran penting ikut membantu pemahaman pembaca perihal
perubahan UUD. Lampiran itu antara lain Naskah Perubahan Pertama UUD
1945 dilengkapi tanda tangan para anggota MPR saat pengesahannya serta
susunan dan komposisi keanggotaan fraksi-fraksi MPR dalam pembahasan
di tingkat BP MPR dan Komisi C SU MPR tahun 1999.
Embrio perubahan UUD 1945 sebenarnya telah ada sejak awal berdirinya
Orde Baru, tepatnya tahun 1966. Saat itu MPRS membentuk Panitia Ad Hoc
III yang bertugas menyusun Pelengkap Penjelasan UUD 1945 yang dalam
perkembangannya juga menyusun saran perubahan batang tubuh UUD 1945.
Antara lain yang disarankan untuk diubah adalah masa jabatan Presiden
dan Wakil Presiden (tidak boleh memangku jabatan lebih dari dua kali
masa jabatan berturut-turut); kedudukan dan fungsi kepolisian agar
diatur dalam UUD 1945; adanya ketentuan yang mengatur hak menguji
undang-undang dari MA; serta Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan
dalam UUD 1945 supaya dihapus (hlm 32-34).
Saran menyangkut pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden
baru terlaksana 32 tahun kemudian dalam Perubahan Pertama UUD 1945;
sedang saran hak uji materiil pada MA baru diputuskan dalam rancangan
Perubahan Kedua UUD 1945 dalam ST MPR 2000. Hal itu membuktikan
terlambatnya perkembangan ketatanegaraan kita sehingga apa yang
seharusnya telah terjadi 32 tahun lalu, baru terjadi saat ini.
Akibatnya kemajuan yang seharusnya sudah terwujud dan berjalan baik,
pada saat ini baru dimulai dari titik nol.
Bab empat merupakan "ruh" dan inti buku ini. Di dalamnya memuat secara
sistematis pembahasan berbagai usulan materi perubahan UUD 1945 yang
dikemukakan masing-masing fraksi. Bila membandingkan usulan-usulan itu
dengan materi UUD 1945 maka terasa konstitusi yang kita miliki itu
begitu tertinggal.
Walaupun buku ini tidak hendak menilai sikap fraksi-fraksi, tetapi
ketika membaca bab ini pembaca langsung dapat menilai mana
gagasan-gagasan dari yang kutub paling revolusioner dan progresif,
sikap moderat sampai kepada kutub konservatif.
Dengan menelusuri usulan fraksi-fraksi, kita akan mengetahui fraksi
mana saja yang berhasil memberi kontribusi besar dalam Perubahan
Pertama UUD 1945. Walaupun hal ini dengan catatan, tampaknya tidak ada
satu fraksi pun yang berhak mengklaim dirinya paling berjasa dalam
perumusan perubahan pertama itu, karena sebagian usulan fraksi-fraksi
itu untuk satu isu itu relatif sama.
Memang harus disyukuri, pada forum MPR ini tidak lagi ditemui
persaingan "ideologis" antarfraksi sebagaimana terjadi di BPUPKI dan
PPKI (1945) maupun Konstituante (1956-1959). Kesebelas fraksi yang ada
di MPR, secara umum bersatu kata dalam melakukan perubahan terhadap
UUD 1945, sebagian fraksi hanya berbeda dalam detail-detailnya saja.
Sesuatu yang belum tentu terulang dalam proses pembahasan Perubahan
Kedua UUD 1945 yang saat ini tengah dibahas di ST MPR 2000.
***
PERUBAHAN UUD 1945 pada tahun 1999 ini baru berhasil membahas dua hal
yaitu pembatasan kekuasaan Presiden dan pemberdayaan DPR. Hal ini
lebih disebabkan terlampau sedikitnya waktu. PAH III BP MPR yang
bertugas mempersiapkan rancangan perubahan itu hanya punya waktu
delapan hari (7-13 Oktober 1999), dan pembahasan di tingkat Komisi C
MPR hanya selama dua setengah hari.
Apa makna perubahan UUD 1945 yang pertama kali dilakukan ini? Penulis
mendeskripsikannya dalam tiga aspek: desakralisasi UUD 1945; jaminan
konstitusional berkembangnya demokrasi; dan proporsionalitas kekuasaan
eksekutif dan legislatif (hlm 22-224).
Di luar beberapa kesalahan ketik dan penggalan kata yang kurang
teliti, buku ini sangatlah berharga mendokumentasikan secara "hidup"
suasana persidangan dalam membahas perubahan UUD 1945. Buku ini layak
menjadi referensi utama dalam memahami alam pikiran para perumus
perubahan UUD 1945 di era reformasi. Buku ini juga patut menjadi
bagian penting dokumentasi historis di bidang ketatanegaraan modern
setelah karya klasik M Yamin Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945
yang memuat alam pikiran the founding fathers pada penyusunan UUD
1945.

Tidak ada komentar: