Rabu, 17 September 2008

hikmah puasa ramadhhan

Hikmah Puasa Ramadhan
Oleh: Med Hatta
Sebagian hikmah puasa bisa dilihat dalam firman Allah yang artinya: "Agar kalian bertakwa."

Takwa adalah buah yang diharapkan dan dihasilkan oleh puasa. Buah tersebut akan menjadi bekal orang beriman dan perisai baginya agar tidak terjatuh dalam jurang kemaksiatan. Seorang ulama sufi pernah berkata tentang pengaruh takwa bagi kehidupan seorang muslim; “Dengan bertakwa, para kekasih Allah akan terlindungi dari perbuatan yang tercela, dalam hatinya diliputi rasa takut kepada Allah sehingga senantiasa terjaga dari perbuatan dosa, pada malam hari mengisi waktu dengan kegiatan beribadah, lebih suka menahan kesusahan daripada mencari hiburan, rela merasakan lapar dan haus, merasa dekat dengan ajal sehingga mendorongnya untuk memperbanyak amal kebajikan". Takwa merupakan kombinasi kebijakan dan pengetahuan, serta gabungan antara perkataan dan perbuatan.

Puasa Ramadhan akan membersihkan rohani kita dengan menanamkan perasaan kesabaran, kasih sayang, pemurah, berkata benar, ikhlas, disiplin, terhindar dari sifat tamak dan rakus, percaya pada diri sendiri dan sebagainya.

Meskipun makanan dan minuman itu halal, kita menahan diri untuk tidak makan dan minum dari semenjak fajar hingga terbenamnya matahari, karena mematuhi perintah Allah. Begitu juga isteri kita sendiri, kita tidak mencampurinya ketika masa berpuasa demi mematuhi perintah Allah SWT.

Ayat puasa itu dimulai dengan firman Allah: "Wahai orang-orang yang beriman" dan diakhiri dengan: "Mudah-mudahan kamu menjadi orang yang bertakwa". Jadi jelaslah bagi kita bahwa puasa Ramadhan berdasarkan keimanan dan ketakwaan. Untuk menjadi orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah kita diberi kesempatan selama bulan Ramadhan: melatih diri dari menahan hawa nafsu, makan dan minum, mencampuri isteri, menahan diri dari perkataan dan perbuatan yang sia-sia seperti berkata bohong, membuat fitnah dan tipu daya, merasa dengki dan khianat, memecah belah persatuan umat, dan berbagai perbuatan jahat lainnya. Rasullah SAW bersabda:"Bukanlah puasa itu hanya sekedar menghentikan makan dan minum tetapi puasa itu ialah menghentikan omong kosong dan kata-kata kotor." (HR. Ibnu Khuzaimah).

Beruntunglah mereka yang dapat berpuasa selama bulan Ramadhan, karena puasa itu bukan saja dapat membersihkan ruhani manusia, tapi juga akan membersihkan jasmani manusia itu sendiri, puasa sebagai alat penyembuh yang baik. Semua alat pada tubuh kita senantiasa digunakan, boleh dikatakan alat-alat itu tidak pernah istirahat selama 24 jam. Alhamdulillah dengan berpuasa kita dapat mengistirahatkan alat pencernaan lebih kurang selama 12 jam setiap harinya. Oleh karena itu dengan berpuasa, organ dalam tubuh kita dapat bekerja dengan lebih teratur dan efektif.

Perlu diingat, ibadah puasa Ramadhan akan membawa faedah bagi kesehatan ruhani dan jasmani kita apabila dilaksanakan sesuai dengan panduan yang telah ditetapkan, jika tidak, maka hasilnya tidak seberapa malah mungkin ibadah puasa kita sia-sia belaka.

Allah SWT berfirman "Makan dan minumlah kamu dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al-A'raf:31)

Nabi SAW juga bersabda "Kita ini adalah kaum yang makan apabila merasakan lapar, dan makan dengan secukupnya (tidak kenyang)."

Tubuh kita memerlukan makanan yang bergizi sesuai keperluan tubuh kita. Jika kita makan berlebih-lebihan sudah tentu ia akan membawa mudarat kepada kesehatan kita. Bisa menyebabkan badan menjadi gemuk, efek lainnya adalah mengakibatkan sakit jantung, darah tinggi, penyakit kencing manis, dan berbagai penyakit lainnya. Dengan demikian maka puasa bisa dijadikan sebagai media diet yang paling ampuh dan praktis.

Puasa tidak diwajibkan sepanjang tahun, juga tidak dalam waktu yang sebentar melainkan pada hari-hari yang terbatas, yaitu hari-hari bulan Ramadan, dari mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Karena, jika puasa diwajibkan secara terus menerus sepanjang tahun atau sehari semalam tanpa henti, tentu akan memberatkan. Begitu juga jika hanya untuk waktu separuh hari, tentu tak akan memiliki pengaruh apa-apa, akan tetapi puasa diwajibkan untuk waktu sepanjang hari mulai dari terbit fajar hingga matahari terbenam, dan dalam hari-hari yang telah ditentukan.

Selain keringanan dalam masalah waktu, Allah juga membuktikan kasih sayang-Nya kepada hamba dengan memberikan keringanan-keringanan yang lain, di antaranya kepada: orang sakit (yang membahayakan dirinya jika berpuasa) dan orang yang menempuh perjalanan jauh (yang memberatkan dirinya jika melaksanakan puasa) diperbolehkan untuk berbuka dan menggantinya pada hari yang lain, sesuai dengan jumlah puasa yang ia tinggalkan.

Dengan kalam-Nya Allah telah menegaskan kepada manusia, keutamaan puasa di bulan suci Ramadhan sebagai bulan keberkahan, dimana Allah memberikan nikmat sekaligus mukjizat yang begitu agung kepada hamba-Nya berupa turunnya Al-Qur'an.

Ayat-ayat Al-Qur'an juga menjelaskan betapa Tuhan begitu dekat dengan hambanya, Ia selalu menjawab do'a mereka di mana dan kapan pun mereka berada, tidak ada pemisah antara keduanya. Maka sudah selayaknya bagi seorang muslim, untuk selalu berdo'a, memohon ampunan kepada Tuhannya, beribadah dengan tulus-ikhlas, beriman, dan tidak menyekutukan-Nya, dengan harapan Allah akan mengabulkan semua do'a dan permintaannya.

Diriwayatkan bahwa sekumpulan orang pedalaman bertanya kepada Nabi SAW : "Wahai Muhammad! Apakah Tuhan kita dekat, sehingga kami bermunajat (mengadu dan berdoa dalam kelirihan) kepada-Nya, ataukah Ia jauh sehingga kami menyeru (mengadu dan berdoa dengan suara lantang) kepada-Nya?" Maka turunlah ayat: "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. (QS. Al-Baqarah/2: 186)

Allah telah memberikan beberapa pengecualian bagi umat Muhammad dalam menjalankan ibadah puasa, seperti dibolehkannya seorang suami untuk memberikan nafkah batin kepada isterinya pada malam bulan Ramadhan, kecuali pada waktu I'tikaf di masjid, karena waktu tersebut adalah waktu di mana manusia seharusnya mendekatkan diri kepada Allah tanpa disibukkan dengan perkara yang lain.

Diantara hikmah puasa yang dapat dicatat juga adalah sebagai wijaa, perisai atau pelindung:
Rasulullah SAW menyuruh orang yang kuat "syahwatnya" dan belum mampu untuk menikah agar berpuasa, menjadikannya sebagai wijaa (memutuskan syahwat jiwa) bagi syahwat ini, karena puasa eksistensi dan subtansialnya adalah menahan dan menenangkan dorongan kuatnya anggota badan hingga bisa terkontrol serta seluruh kekuatan (dorongan dari dalam) sampai bisa taat dan dibelenggu dengan belenggu puasa. Telah jelas bahwa puasa memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam menjaga anggota badan yang nyata/dhahir dan kekuatan bathin. Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda "Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu ba'ah (mampu menikah dengan berbagai persiapannya) hendaklah menikah, karena menikah lebih menundukkan pandangan, dan lebih menjaga kehormatan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, hendaklah puasa karena puasa merupakan wijaa' (pemutus syahwat) baginya". (HR. Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas'ud).

Rasulullah SAW telah menjelaskan bahwa surga diliputi dengan perkara-perkara yang tidak disenangi (seperti menahan syahwat dsb), dan neraka diliputi dengan syahwat. Jika telah jelas demikian, sesungguhnya puasa itu menghancurkan syahwat, mematahkan tajamnya syahwat yang bisa mendekatkan seorang hamba ke neraka, puasa menghalangi orang yang berpuasa dari neraka. Oleh karena itu banyak hadits yang menegaskan bahwa puasa adalah benteng dari neraka, dan perisai yang menghalangi seseorang darinya.

Bersabda Rasulullah SAW "Tidaklah seorang hamba yang berpuasa di jalan Allah kecuali akan Allah jauhkan dia (karena puasanya) dari neraka sejauh tujuh puluh musim". (HR. Bukhari 6/35, Muslim 1153 dari Abu Sa'id Al-Khudry. Ada redaksi lain yaitu telah bersabda Rasulullah SAW : "tujuh puluh musim", yakni : perjalanan tujuh puluh tahun, demikian dijelaskan dalam kitab Fathul Bari 6/48).

Rasulullah SAW bersabda "Puasa adalah perisai, seorang hamba berperisai dengannya dari api neraka" (HR. Ahmad 3/241, 3/296 dari Jabir, Ahmad 4/22 dari Utsman bin Abil 'Ash. Ini adalah hadits shahih).

Dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda "Barangsiapa yang berpuasa sehari di jalan Allah maka di antara dia dan neraka ada parit yang luasnya seperti antara langit dengan bumi".

Sebagian ulama telah memahami bahwa hadits-hadits tersebut merupakan penjelasan tentang keutamaan puasa ketika jihad dan berperang di jalan Allah. Namun dhahir/redaksi hadits ini mencakup semua puasa jika dilakukan dengan ikhlas karena mengharapkan ridha Allah SWT, ini sesuai dengan apa yang dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam termasuk puasa di jalan Allah (seperti yang disebutkan dalam hadits ini).
itulah beberapa hikmah yang bisa dipetik selama ramadhan, semoga bermanfa'at. wallahu'alambisshawab.

hikmah puasa ramadhhan

Hikmah Puasa Ramadhan
Oleh: Med Hatta
Sebagian hikmah puasa bisa dilihat dalam firman Allah yang artinya: "Agar kalian bertakwa."

Takwa adalah buah yang diharapkan dan dihasilkan oleh puasa. Buah tersebut akan menjadi bekal orang beriman dan perisai baginya agar tidak terjatuh dalam jurang kemaksiatan. Seorang ulama sufi pernah berkata tentang pengaruh takwa bagi kehidupan seorang muslim; “Dengan bertakwa, para kekasih Allah akan terlindungi dari perbuatan yang tercela, dalam hatinya diliputi rasa takut kepada Allah sehingga senantiasa terjaga dari perbuatan dosa, pada malam hari mengisi waktu dengan kegiatan beribadah, lebih suka menahan kesusahan daripada mencari hiburan, rela merasakan lapar dan haus, merasa dekat dengan ajal sehingga mendorongnya untuk memperbanyak amal kebajikan". Takwa merupakan kombinasi kebijakan dan pengetahuan, serta gabungan antara perkataan dan perbuatan.

Puasa Ramadhan akan membersihkan rohani kita dengan menanamkan perasaan kesabaran, kasih sayang, pemurah, berkata benar, ikhlas, disiplin, terhindar dari sifat tamak dan rakus, percaya pada diri sendiri dan sebagainya.

Meskipun makanan dan minuman itu halal, kita menahan diri untuk tidak makan dan minum dari semenjak fajar hingga terbenamnya matahari, karena mematuhi perintah Allah. Begitu juga isteri kita sendiri, kita tidak mencampurinya ketika masa berpuasa demi mematuhi perintah Allah SWT.

Ayat puasa itu dimulai dengan firman Allah: "Wahai orang-orang yang beriman" dan diakhiri dengan: "Mudah-mudahan kamu menjadi orang yang bertakwa". Jadi jelaslah bagi kita bahwa puasa Ramadhan berdasarkan keimanan dan ketakwaan. Untuk menjadi orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah kita diberi kesempatan selama bulan Ramadhan: melatih diri dari menahan hawa nafsu, makan dan minum, mencampuri isteri, menahan diri dari perkataan dan perbuatan yang sia-sia seperti berkata bohong, membuat fitnah dan tipu daya, merasa dengki dan khianat, memecah belah persatuan umat, dan berbagai perbuatan jahat lainnya. Rasullah SAW bersabda:"Bukanlah puasa itu hanya sekedar menghentikan makan dan minum tetapi puasa itu ialah menghentikan omong kosong dan kata-kata kotor." (HR. Ibnu Khuzaimah).

Beruntunglah mereka yang dapat berpuasa selama bulan Ramadhan, karena puasa itu bukan saja dapat membersihkan ruhani manusia, tapi juga akan membersihkan jasmani manusia itu sendiri, puasa sebagai alat penyembuh yang baik. Semua alat pada tubuh kita senantiasa digunakan, boleh dikatakan alat-alat itu tidak pernah istirahat selama 24 jam. Alhamdulillah dengan berpuasa kita dapat mengistirahatkan alat pencernaan lebih kurang selama 12 jam setiap harinya. Oleh karena itu dengan berpuasa, organ dalam tubuh kita dapat bekerja dengan lebih teratur dan efektif.

Perlu diingat, ibadah puasa Ramadhan akan membawa faedah bagi kesehatan ruhani dan jasmani kita apabila dilaksanakan sesuai dengan panduan yang telah ditetapkan, jika tidak, maka hasilnya tidak seberapa malah mungkin ibadah puasa kita sia-sia belaka.

Allah SWT berfirman "Makan dan minumlah kamu dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al-A'raf:31)

Nabi SAW juga bersabda "Kita ini adalah kaum yang makan apabila merasakan lapar, dan makan dengan secukupnya (tidak kenyang)."

Tubuh kita memerlukan makanan yang bergizi sesuai keperluan tubuh kita. Jika kita makan berlebih-lebihan sudah tentu ia akan membawa mudarat kepada kesehatan kita. Bisa menyebabkan badan menjadi gemuk, efek lainnya adalah mengakibatkan sakit jantung, darah tinggi, penyakit kencing manis, dan berbagai penyakit lainnya. Dengan demikian maka puasa bisa dijadikan sebagai media diet yang paling ampuh dan praktis.

Puasa tidak diwajibkan sepanjang tahun, juga tidak dalam waktu yang sebentar melainkan pada hari-hari yang terbatas, yaitu hari-hari bulan Ramadan, dari mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Karena, jika puasa diwajibkan secara terus menerus sepanjang tahun atau sehari semalam tanpa henti, tentu akan memberatkan. Begitu juga jika hanya untuk waktu separuh hari, tentu tak akan memiliki pengaruh apa-apa, akan tetapi puasa diwajibkan untuk waktu sepanjang hari mulai dari terbit fajar hingga matahari terbenam, dan dalam hari-hari yang telah ditentukan.

Selain keringanan dalam masalah waktu, Allah juga membuktikan kasih sayang-Nya kepada hamba dengan memberikan keringanan-keringanan yang lain, di antaranya kepada: orang sakit (yang membahayakan dirinya jika berpuasa) dan orang yang menempuh perjalanan jauh (yang memberatkan dirinya jika melaksanakan puasa) diperbolehkan untuk berbuka dan menggantinya pada hari yang lain, sesuai dengan jumlah puasa yang ia tinggalkan.

Dengan kalam-Nya Allah telah menegaskan kepada manusia, keutamaan puasa di bulan suci Ramadhan sebagai bulan keberkahan, dimana Allah memberikan nikmat sekaligus mukjizat yang begitu agung kepada hamba-Nya berupa turunnya Al-Qur'an.

Ayat-ayat Al-Qur'an juga menjelaskan betapa Tuhan begitu dekat dengan hambanya, Ia selalu menjawab do'a mereka di mana dan kapan pun mereka berada, tidak ada pemisah antara keduanya. Maka sudah selayaknya bagi seorang muslim, untuk selalu berdo'a, memohon ampunan kepada Tuhannya, beribadah dengan tulus-ikhlas, beriman, dan tidak menyekutukan-Nya, dengan harapan Allah akan mengabulkan semua do'a dan permintaannya.

Diriwayatkan bahwa sekumpulan orang pedalaman bertanya kepada Nabi SAW : "Wahai Muhammad! Apakah Tuhan kita dekat, sehingga kami bermunajat (mengadu dan berdoa dalam kelirihan) kepada-Nya, ataukah Ia jauh sehingga kami menyeru (mengadu dan berdoa dengan suara lantang) kepada-Nya?" Maka turunlah ayat: "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. (QS. Al-Baqarah/2: 186)

Allah telah memberikan beberapa pengecualian bagi umat Muhammad dalam menjalankan ibadah puasa, seperti dibolehkannya seorang suami untuk memberikan nafkah batin kepada isterinya pada malam bulan Ramadhan, kecuali pada waktu I'tikaf di masjid, karena waktu tersebut adalah waktu di mana manusia seharusnya mendekatkan diri kepada Allah tanpa disibukkan dengan perkara yang lain.

Diantara hikmah puasa yang dapat dicatat juga adalah sebagai wijaa, perisai atau pelindung:
Rasulullah SAW menyuruh orang yang kuat "syahwatnya" dan belum mampu untuk menikah agar berpuasa, menjadikannya sebagai wijaa (memutuskan syahwat jiwa) bagi syahwat ini, karena puasa eksistensi dan subtansialnya adalah menahan dan menenangkan dorongan kuatnya anggota badan hingga bisa terkontrol serta seluruh kekuatan (dorongan dari dalam) sampai bisa taat dan dibelenggu dengan belenggu puasa. Telah jelas bahwa puasa memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam menjaga anggota badan yang nyata/dhahir dan kekuatan bathin. Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda "Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu ba'ah (mampu menikah dengan berbagai persiapannya) hendaklah menikah, karena menikah lebih menundukkan pandangan, dan lebih menjaga kehormatan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, hendaklah puasa karena puasa merupakan wijaa' (pemutus syahwat) baginya". (HR. Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas'ud).

Rasulullah SAW telah menjelaskan bahwa surga diliputi dengan perkara-perkara yang tidak disenangi (seperti menahan syahwat dsb), dan neraka diliputi dengan syahwat. Jika telah jelas demikian, sesungguhnya puasa itu menghancurkan syahwat, mematahkan tajamnya syahwat yang bisa mendekatkan seorang hamba ke neraka, puasa menghalangi orang yang berpuasa dari neraka. Oleh karena itu banyak hadits yang menegaskan bahwa puasa adalah benteng dari neraka, dan perisai yang menghalangi seseorang darinya.

Bersabda Rasulullah SAW "Tidaklah seorang hamba yang berpuasa di jalan Allah kecuali akan Allah jauhkan dia (karena puasanya) dari neraka sejauh tujuh puluh musim". (HR. Bukhari 6/35, Muslim 1153 dari Abu Sa'id Al-Khudry. Ada redaksi lain yaitu telah bersabda Rasulullah SAW : "tujuh puluh musim", yakni : perjalanan tujuh puluh tahun, demikian dijelaskan dalam kitab Fathul Bari 6/48).

Rasulullah SAW bersabda "Puasa adalah perisai, seorang hamba berperisai dengannya dari api neraka" (HR. Ahmad 3/241, 3/296 dari Jabir, Ahmad 4/22 dari Utsman bin Abil 'Ash. Ini adalah hadits shahih).

Dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda "Barangsiapa yang berpuasa sehari di jalan Allah maka di antara dia dan neraka ada parit yang luasnya seperti antara langit dengan bumi".

Sebagian ulama telah memahami bahwa hadits-hadits tersebut merupakan penjelasan tentang keutamaan puasa ketika jihad dan berperang di jalan Allah. Namun dhahir/redaksi hadits ini mencakup semua puasa jika dilakukan dengan ikhlas karena mengharapkan ridha Allah SWT, ini sesuai dengan apa yang dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam termasuk puasa di jalan Allah (seperti yang disebutkan dalam hadits ini).
itulah beberapa hikmah yang bisa dipetik selama ramadhan, semoga bermanfa'at. wallahu'alambisshawab.
Keseimbangan Antara Dunia Dan Akhirat
Oleh: Med Hatta

Masalah ekonomi umat Islam rata-rata pada saat sekarang belum menggembirakan, meskipun terdapat banyak negara Islam yang dianugerahkan sumber daya alam yaitu minyak dan gas bumi yang berlimpah-ruah, terutama di Timur Tengah, belum ada satu negara Islam pun yang layak digolongkan dalam kategori negara maju. Hanya ada lima negara Islam, dengan jumlah penduduk tidak lebih dari 6 juta jiwa yang saat ini dikategorikan sebagai negara yang berpendapatan tinggi akan tetapi masih jauh dari kategori negara maju. Sedangkan lebih dari 20 negara Islam dengan jumlah penduduk melebihi 600 juta jiwa, tergolong dalam kategori negara berpendapatan rendah dan terbelenggu dalam kemiskinan. Ini mengindikasikan bahwa cuma setengah persen dari total 1200 juta umat Islam saja yang bisa dikatakan kaya sementara lebih dari 50 persen umat Islam berada dalam garis kemiskinan. Kemudian pertanyaan, adakah fenomena ini sejalan dengan ajaran Islam? atau apakah Islam itu sendiri menginginkan umatnya hidup dalam keadaan zuhud?

Kalau kita kembali membuka lembaran sejarah Islam masa lalu, sungguh kita akan tercengang betapa Islam telah mampu merubah nasib umatnya yang dahulunya mundur, naik pada peringkat teratas hingga menjadi sebuah masyarakat yang sangat tinggi tamaddunnya. Masyarakat Islamlah yang telah mencapai puncak kemajuan di berbagai bidang, terutama dalam memperluas dan mendalami berbagai disiplin ilmu, misalnya sains, matematika, astronomi, kedokteran, sastra, filsafat, mantik, ilmu politik, kemiliteran, pembangunan ekonomi dan sebagainya. Masyarakat Islam jugalah yang telah berjaya dalam mengarungi samudera dan menjelajahi bumi bukan sekedar memperluas wilayah dan daerah jajahan saja akan tetapi lebih dari itu menyebarkan Islam dan ilmu pengetahuan di bumi Allah dimana saja mereka berpijak.

Akan tetapi apa yang telah terjadi pada umat Islam saat sekarang, terutama setelah dijajah selama berkurun waktu yang mengakibatkan pudar keunggulannya. Masyarakat Islam menjadi loyo, letih dan lesu, bagaikan seekor burung yang sayapnya patah yang tidak mampu lagi untuk bangkit dan mengepakkan sayapnya, tidak mampu untuk mengembangkan apa yang pernah diraihnya.

Sekarang faktor apa yang paling dominan menyebabkan kemunduran umat Islam pada saat sekarang ini? Apakah hanya faktor penjajahan saja – seperti disebut di atas - atau ada faktor lain? Mungkinkah karena umat Islam hanya lebih mementingkan kehidupan akhirat saja dan sudah melupakan kehidupan duniawinya? Apakah umat Islam sudah melalaikan ajaran Islamnya sendiri yang notabene sebagai agama atau cara hidup yang sempurna?

Untuk menjawabnya mari kita berpijak dari firman Allah SWT "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akherat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniwi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan" (QS. Al-Qashash: 77).

Untuk menjelaskan ayat di atas saya akan mencoba menguraikannya ke dalam 3 kategori utama sesuai dengan makna kandungan ayat, yaitu:

1. Kehidupan Akhirat Adalah Tujuan

Allah SWT berfirman, "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akherat".

Di sini terlihat dengan jelas bahwa yang harus kita kejar adalah kebahagiaan hidup akhirat. Mengapa? Karena di sanalah kehidupan abadi. Tidak ada mati lagi setelah itu. Karenanya dalam ayat yang lain Allah berfirman: "Dan sesungguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya" (QS. Al-Ankabut: 64).

Lalu, apa arti kita hidup di dunia?... Dunia tempat kita mempersiapkan diri untuk akhirat. Sebagai tempat persiapan, dunia pasti akan kita tinggalkan. Ibarat terminal, kita transit di dalamnya sejenak, sampai waktu yang ditentukan, setelah itu kita tinggalkan dan melanjutkan perjalanan lagi. Bila demikian tabiat dunia, mengapa kita terlalu banyak menyita hidup untuk keperluan dunia? Diakui atau tidak, dari 24 jam jatah usia kita dalam sehari, bisa dikatakan hanya beberapa persen saja yang kita gunakan untuk persiapan akhirat. Selebihnya bisa dipastikan terkuras habis oleh kegiatan yang berputar-putar dalam urusan dunia.

Coba kita ingat nikmat Allah yang tak terhingga, setiap saat mengalir dalam tubuh kita. Tapi mengapa kita lalaikan itu semua. Detakan jantung tidak pernah berhenti. Kedipan mata yang tak terhitung berapa kali dalam sehari, selalu kita nikmati. Tapi kita sengaja atau tidak selalu melupakan hal itu. Kita sering mudah berterima kasih kepada seorang yang berjasa kepada kita, sementara kepada Allah yang senantiasa memanja kita dengan nikmat-nikmatNya, kita sering kali memalingkan ingatan. Akibatnya kita pasti akan lupa akhirat. Dari sini dunia akan selalu menghabiskan waktu kita.

Orang-orang bijak mengatakan bahwa dunia ini hanyalah keperluan, ibarat WC dan kamar mandi dalam sebuah rumah, ia dibangun semata sebagai keperluan. Karenanya siapapun dari penghuni rumah itu akan mendatangi WC atau kamar mandi jika perlu, setelah itu ditinggalkan. Maka sungguh sangat aneh bila ada seorang yang diam di WC sepanjang hari, dan menjadikannya sebagai tujuan utama dari dibangunnya rumah itu. Begitu juga sebenarnya sangat tidak wajar bila manusia sibuk mengurus dunia sepanjang hari dan menjadikannya sebagai tujuan hidup. Sementara akhirat dikesampingkan.

Kemudian bagaimana mensinkronkan atau menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat? Mari kita ikuti kategori ke dua sebagai sambungan penjelasan ayat di atas.

2. Berusaha Memperbaiki Kehidupan Dunia

Allah SWT berfirman: ”Dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu".

Ayat di atas dengan jelas bahwasannya Allah memerintahkan umat Islam untuk selalu berusaha menggapai kebahagiaan akhirat, tetapi jangan melupakan kehidupan di dunia ini. Meskipun kebahagiaan dan kenikmatan dunia bersifat sementara tetapi tetaplah penting dan agar tidak dilupakan, sebab dunia adalah ladangnya akhirat.

Masa depan — termasuk kebahagiaan di akhirat — kita, sangat bergantung pada apa yang diusahakan sekarang di dunia ini. Allah telah menciptakan dunia dan seisinya adalah untuk manusia, sebagai sarana menuju akhirat. Allah juga telah menjadikan dunia sebagai tempat ujian bagi manusia, untuk mengetahui siapa yang paling baik amalnya, siapa yang paling baik hati dan niatnya.

Allah mengingatkan perlunya manusia untuk mengelola dan menggarap dunia ini dengan sebaik-baiknya, untuk kepentingan kehidupan manusia dan keturunannya. Pada saat yang sama Allah juga menegaskan perlunya selalu berbuat baik kepada orang lain dan tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Allah mengingatkan: ”Tidakkah kalian perhatikan bahwa Allah telah menurunkan untuk kalian apa-apa yang ada di langit dan di bumi dan menyempurnakan untuk kalian nikmat-Nya lahir dan batin” (QS. Luqman: 20).

Untuk mengelola dan menggarap dunia dengan sebaik-baiknya, maka manusia memerlukan berbagai persiapan, sarana maupun prasarana yang memadai. Karena itu maka manusia perlu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, setidaknya keterampilan yang mencukupi dan profesionalisme yang akan memudahkan dalam proses pengelolaan tersebut.

Meskipun demikian, karena adanya sunatullah, hukum sebab dan akibat, tidak semua manusia pada posisi dan kecenderungan yang sama. Karena itu manusia apa pun; pangkat, kedudukan dan status sosial ekonominya tidak boleh menganggap remeh profesi apa pun, yang telah diusahakan manusia. Allah sendiri sungguh tidak memandang penampakan duniawiah atau lahiriah manusia. Sebaliknya Allah menghargai usaha apa pun, sekecil apa pun atau sehina apa pun menurut pandangan manusia, sepanjang dilakukan secara profesional, baik, tidak merusak dan dilakukan semata-mata karena Allah.

Allah hanya memandang kemauan, kesungguhan dan tekad seorang hamba dalam mengusahakan urusan dunianya secara benar. Allah SWT menegaskan bahwa:”Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kedudukan suatu kaum, sehingga kaum itu mengubah kondisi, kedudukan yang ada pada diri mereka sendiri (melalui kerja keras dan kesungguhannya” (QS. Ar-Ro’d: 11).

Allah juga mengingatkan manusia karena watak yang seringkali serakah, egois /sifat ananiyah dan keakuannya, agar dalam mengelola dunia jangan sampai merugikan orang lain yang hanya akan menimbulkan permusuhan dan pertumpahan darah (perang) antar sesamanya. Manusia seringkali karena keserakahannya berambisi untuk memiliki kekayaan dan harta benda, kekuasaan, pangkat dan kehormatan dengan tidak memperhatikan atau mengabaikan hak-hak Allah, rasul-Nya dan hak-hak manusia lain. Karena itu Allah mengingatkan bahwa selamanya manusia akan terhina dan merugi, jika tidak memperbaiki hubungannya dengan Allah (hablun minallah) dan dengan sesamanya-manusia (hablun minannaas).

Inilah landasan yang penting bagi terciptanya harmonisme kehidupan masyarakat. Ia juga merupakan landasan penting dan prasyarat masyarakat yang bermartabat dan berperadaban menuju terciptanya masyarakat madani yang damai, adil, dan makmur.

3. Menjaga Lingkungan

Sebagai sarana hidup, Allah SWT melarang manusia membuat kerusakan di muka bumi. Mereka boleh mengelola alam, tetapi untuk melestarikan dan bukan merusaknya. Firman Allah dari sambungan ayat di atas: "Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan".

Allah SWT menyindir kita tentang sedikitnya orang yang peduli pada kelestarian lingkungan di muka bumi, firmanNya; "Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebahagian kecil " (QS. Huud ayat 116).

Dalam kaidah Ushul Fikih dikatakan, Ad-dlararu yuzalu: segala bentuk kemudharatan itu mesti dihilangkan. Nabi SAW bersabda : "La dlarara wala dlirara", artinya ialah tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain.

Dari sini dapat dibuat peraturan teknis untuk mencegah kerusakan lingkungan yang pada akhirnya membahayakan kehidupan manusia itu sendiri. Pelanggaran terhadap hal itu, di samping berdosa juga harus dikenai hukuman ta'zir; mulai dari denda, cambuk, penjara, bahkan hukuman mati tergantung tingkat bahaya yang ditimbulkannya.

Karena itu, bila kita ingin terhindar dari berbagai bencana harus ada revolusi total tentang pandangan manusia terhadap alam sekitarnya. Cara pandang kapitalistik dan individualistik yang ada selama ini harus diubah. Ini karena menganggap alam sekitarnya sebagai faktor produksi telah membuat orang rakus, serakah, dan sekaligus oportunis.

Pandangan hidup untuk berkompetisi berdasarkan pada teori Survival on the fittes membuat manusia merusak harmoni kehidupan. Ketidak percayaan pada nikmat Allah yang tiada terhitung membuat manusia membunuh sesama makhluk Allah demi memuaskan kebutuhannya.
Keseimbangan Antara Dunia Dan Akhirat
Oleh: Med Hatta

Masalah ekonomi umat Islam rata-rata pada saat sekarang belum menggembirakan, meskipun terdapat banyak negara Islam yang dianugerahkan sumber daya alam yaitu minyak dan gas bumi yang berlimpah-ruah, terutama di Timur Tengah, belum ada satu negara Islam pun yang layak digolongkan dalam kategori negara maju. Hanya ada lima negara Islam, dengan jumlah penduduk tidak lebih dari 6 juta jiwa yang saat ini dikategorikan sebagai negara yang berpendapatan tinggi akan tetapi masih jauh dari kategori negara maju. Sedangkan lebih dari 20 negara Islam dengan jumlah penduduk melebihi 600 juta jiwa, tergolong dalam kategori negara berpendapatan rendah dan terbelenggu dalam kemiskinan. Ini mengindikasikan bahwa cuma setengah persen dari total 1200 juta umat Islam saja yang bisa dikatakan kaya sementara lebih dari 50 persen umat Islam berada dalam garis kemiskinan. Kemudian pertanyaan, adakah fenomena ini sejalan dengan ajaran Islam? atau apakah Islam itu sendiri menginginkan umatnya hidup dalam keadaan zuhud?

Kalau kita kembali membuka lembaran sejarah Islam masa lalu, sungguh kita akan tercengang betapa Islam telah mampu merubah nasib umatnya yang dahulunya mundur, naik pada peringkat teratas hingga menjadi sebuah masyarakat yang sangat tinggi tamaddunnya. Masyarakat Islamlah yang telah mencapai puncak kemajuan di berbagai bidang, terutama dalam memperluas dan mendalami berbagai disiplin ilmu, misalnya sains, matematika, astronomi, kedokteran, sastra, filsafat, mantik, ilmu politik, kemiliteran, pembangunan ekonomi dan sebagainya. Masyarakat Islam jugalah yang telah berjaya dalam mengarungi samudera dan menjelajahi bumi bukan sekedar memperluas wilayah dan daerah jajahan saja akan tetapi lebih dari itu menyebarkan Islam dan ilmu pengetahuan di bumi Allah dimana saja mereka berpijak.

Akan tetapi apa yang telah terjadi pada umat Islam saat sekarang, terutama setelah dijajah selama berkurun waktu yang mengakibatkan pudar keunggulannya. Masyarakat Islam menjadi loyo, letih dan lesu, bagaikan seekor burung yang sayapnya patah yang tidak mampu lagi untuk bangkit dan mengepakkan sayapnya, tidak mampu untuk mengembangkan apa yang pernah diraihnya.

Sekarang faktor apa yang paling dominan menyebabkan kemunduran umat Islam pada saat sekarang ini? Apakah hanya faktor penjajahan saja – seperti disebut di atas - atau ada faktor lain? Mungkinkah karena umat Islam hanya lebih mementingkan kehidupan akhirat saja dan sudah melupakan kehidupan duniawinya? Apakah umat Islam sudah melalaikan ajaran Islamnya sendiri yang notabene sebagai agama atau cara hidup yang sempurna?

Untuk menjawabnya mari kita berpijak dari firman Allah SWT "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akherat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniwi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan" (QS. Al-Qashash: 77).

Untuk menjelaskan ayat di atas saya akan mencoba menguraikannya ke dalam 3 kategori utama sesuai dengan makna kandungan ayat, yaitu:

1. Kehidupan Akhirat Adalah Tujuan

Allah SWT berfirman, "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akherat".

Di sini terlihat dengan jelas bahwa yang harus kita kejar adalah kebahagiaan hidup akhirat. Mengapa? Karena di sanalah kehidupan abadi. Tidak ada mati lagi setelah itu. Karenanya dalam ayat yang lain Allah berfirman: "Dan sesungguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya" (QS. Al-Ankabut: 64).

Lalu, apa arti kita hidup di dunia?... Dunia tempat kita mempersiapkan diri untuk akhirat. Sebagai tempat persiapan, dunia pasti akan kita tinggalkan. Ibarat terminal, kita transit di dalamnya sejenak, sampai waktu yang ditentukan, setelah itu kita tinggalkan dan melanjutkan perjalanan lagi. Bila demikian tabiat dunia, mengapa kita terlalu banyak menyita hidup untuk keperluan dunia? Diakui atau tidak, dari 24 jam jatah usia kita dalam sehari, bisa dikatakan hanya beberapa persen saja yang kita gunakan untuk persiapan akhirat. Selebihnya bisa dipastikan terkuras habis oleh kegiatan yang berputar-putar dalam urusan dunia.

Coba kita ingat nikmat Allah yang tak terhingga, setiap saat mengalir dalam tubuh kita. Tapi mengapa kita lalaikan itu semua. Detakan jantung tidak pernah berhenti. Kedipan mata yang tak terhitung berapa kali dalam sehari, selalu kita nikmati. Tapi kita sengaja atau tidak selalu melupakan hal itu. Kita sering mudah berterima kasih kepada seorang yang berjasa kepada kita, sementara kepada Allah yang senantiasa memanja kita dengan nikmat-nikmatNya, kita sering kali memalingkan ingatan. Akibatnya kita pasti akan lupa akhirat. Dari sini dunia akan selalu menghabiskan waktu kita.

Orang-orang bijak mengatakan bahwa dunia ini hanyalah keperluan, ibarat WC dan kamar mandi dalam sebuah rumah, ia dibangun semata sebagai keperluan. Karenanya siapapun dari penghuni rumah itu akan mendatangi WC atau kamar mandi jika perlu, setelah itu ditinggalkan. Maka sungguh sangat aneh bila ada seorang yang diam di WC sepanjang hari, dan menjadikannya sebagai tujuan utama dari dibangunnya rumah itu. Begitu juga sebenarnya sangat tidak wajar bila manusia sibuk mengurus dunia sepanjang hari dan menjadikannya sebagai tujuan hidup. Sementara akhirat dikesampingkan.

Kemudian bagaimana mensinkronkan atau menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat? Mari kita ikuti kategori ke dua sebagai sambungan penjelasan ayat di atas.

2. Berusaha Memperbaiki Kehidupan Dunia

Allah SWT berfirman: ”Dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu".

Ayat di atas dengan jelas bahwasannya Allah memerintahkan umat Islam untuk selalu berusaha menggapai kebahagiaan akhirat, tetapi jangan melupakan kehidupan di dunia ini. Meskipun kebahagiaan dan kenikmatan dunia bersifat sementara tetapi tetaplah penting dan agar tidak dilupakan, sebab dunia adalah ladangnya akhirat.

Masa depan — termasuk kebahagiaan di akhirat — kita, sangat bergantung pada apa yang diusahakan sekarang di dunia ini. Allah telah menciptakan dunia dan seisinya adalah untuk manusia, sebagai sarana menuju akhirat. Allah juga telah menjadikan dunia sebagai tempat ujian bagi manusia, untuk mengetahui siapa yang paling baik amalnya, siapa yang paling baik hati dan niatnya.

Allah mengingatkan perlunya manusia untuk mengelola dan menggarap dunia ini dengan sebaik-baiknya, untuk kepentingan kehidupan manusia dan keturunannya. Pada saat yang sama Allah juga menegaskan perlunya selalu berbuat baik kepada orang lain dan tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Allah mengingatkan: ”Tidakkah kalian perhatikan bahwa Allah telah menurunkan untuk kalian apa-apa yang ada di langit dan di bumi dan menyempurnakan untuk kalian nikmat-Nya lahir dan batin” (QS. Luqman: 20).

Untuk mengelola dan menggarap dunia dengan sebaik-baiknya, maka manusia memerlukan berbagai persiapan, sarana maupun prasarana yang memadai. Karena itu maka manusia perlu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, setidaknya keterampilan yang mencukupi dan profesionalisme yang akan memudahkan dalam proses pengelolaan tersebut.

Meskipun demikian, karena adanya sunatullah, hukum sebab dan akibat, tidak semua manusia pada posisi dan kecenderungan yang sama. Karena itu manusia apa pun; pangkat, kedudukan dan status sosial ekonominya tidak boleh menganggap remeh profesi apa pun, yang telah diusahakan manusia. Allah sendiri sungguh tidak memandang penampakan duniawiah atau lahiriah manusia. Sebaliknya Allah menghargai usaha apa pun, sekecil apa pun atau sehina apa pun menurut pandangan manusia, sepanjang dilakukan secara profesional, baik, tidak merusak dan dilakukan semata-mata karena Allah.

Allah hanya memandang kemauan, kesungguhan dan tekad seorang hamba dalam mengusahakan urusan dunianya secara benar. Allah SWT menegaskan bahwa:”Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kedudukan suatu kaum, sehingga kaum itu mengubah kondisi, kedudukan yang ada pada diri mereka sendiri (melalui kerja keras dan kesungguhannya” (QS. Ar-Ro’d: 11).

Allah juga mengingatkan manusia karena watak yang seringkali serakah, egois /sifat ananiyah dan keakuannya, agar dalam mengelola dunia jangan sampai merugikan orang lain yang hanya akan menimbulkan permusuhan dan pertumpahan darah (perang) antar sesamanya. Manusia seringkali karena keserakahannya berambisi untuk memiliki kekayaan dan harta benda, kekuasaan, pangkat dan kehormatan dengan tidak memperhatikan atau mengabaikan hak-hak Allah, rasul-Nya dan hak-hak manusia lain. Karena itu Allah mengingatkan bahwa selamanya manusia akan terhina dan merugi, jika tidak memperbaiki hubungannya dengan Allah (hablun minallah) dan dengan sesamanya-manusia (hablun minannaas).

Inilah landasan yang penting bagi terciptanya harmonisme kehidupan masyarakat. Ia juga merupakan landasan penting dan prasyarat masyarakat yang bermartabat dan berperadaban menuju terciptanya masyarakat madani yang damai, adil, dan makmur.

3. Menjaga Lingkungan

Sebagai sarana hidup, Allah SWT melarang manusia membuat kerusakan di muka bumi. Mereka boleh mengelola alam, tetapi untuk melestarikan dan bukan merusaknya. Firman Allah dari sambungan ayat di atas: "Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan".

Allah SWT menyindir kita tentang sedikitnya orang yang peduli pada kelestarian lingkungan di muka bumi, firmanNya; "Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebahagian kecil " (QS. Huud ayat 116).

Dalam kaidah Ushul Fikih dikatakan, Ad-dlararu yuzalu: segala bentuk kemudharatan itu mesti dihilangkan. Nabi SAW bersabda : "La dlarara wala dlirara", artinya ialah tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain.

Dari sini dapat dibuat peraturan teknis untuk mencegah kerusakan lingkungan yang pada akhirnya membahayakan kehidupan manusia itu sendiri. Pelanggaran terhadap hal itu, di samping berdosa juga harus dikenai hukuman ta'zir; mulai dari denda, cambuk, penjara, bahkan hukuman mati tergantung tingkat bahaya yang ditimbulkannya.

Karena itu, bila kita ingin terhindar dari berbagai bencana harus ada revolusi total tentang pandangan manusia terhadap alam sekitarnya. Cara pandang kapitalistik dan individualistik yang ada selama ini harus diubah. Ini karena menganggap alam sekitarnya sebagai faktor produksi telah membuat orang rakus, serakah, dan sekaligus oportunis.

Pandangan hidup untuk berkompetisi berdasarkan pada teori Survival on the fittes membuat manusia merusak harmoni kehidupan. Ketidak percayaan pada nikmat Allah yang tiada terhitung membuat manusia membunuh sesama makhluk Allah demi memuaskan kebutuhannya.
Mu'jizat Angka di Dalam Al Qur'an

FENOMENA ANGKA DI DALAM AL QUR'AN

Angka adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Bagaimana tidak, setiap manusia mempunyai 1 kepala, 2 tangan, 2 kaki, dan seterusnya. Namun hakikatnya, tidak sesederhana itu. Orang Mesir kuno pada mulanya tidak mengenal angka, karena mereka lebih memperhatikan lukisan daripada hitungan. Tulisan heroglipnya dipergunakan untuk menggambarkan sesuatu. Misalnya, seorang istri pergi, dilukiskan dengan seorang perempuan sedang berjalan, dan sakit dilukiskan dengan perempuan sedang tidur. Ketika angka bilangan berkembang lukisanpun berulang. Saat ingin mengatakan saya datang dengan istri-istri saya 3 orang ia melukiskan seorang laki-laki berjalan dengan gaya membungkuk di ikuti 3 perempuan dengan paras jelek. Dan jika sedang berlibur bersama 3 orang kekasihnya, ia melukis laki-laki tidur bersandar pada 3 orang perempuan yang molek dan centil. Akan tetapi, masalah muncul kemudian apabila angka tersebut semakin membengkak, bagaimana seorang pedagang di Alexandaria misalnya memesan 5000 ekor ikan? sedangkan untuk menggambar 5000 ekor ikan tersebut sudah pasti akan mengkonsumsi semua kertas papirus yang ada di seluruh mesir.
Bangsa Irak yang terkenal pemalas memiliki ekspresi lain mereka menciptakan hurup bunyi. Misalnya menggambar 3 ekor ikan dengan menuliskan: tiga ekor ikan, 1000 ekor ikan dengan seribu ekor ikan. Menyusul bangsa Romawi memperkenalkan angka-angkanya yang khas dengan garis-garis horizontal, III artinya tiga, V artinya lima dan seterusnya. Namun angka-angka inipun tidak berarti luput dari kelemahan. Ia akan terbentur disaat berhadapan dengan proses hitung menghitung. Bagaimana membagi, menambah dan mengali? bagaimana menulis 20 orang wanita dengan seratus buah lidi-lidi romawi tadi? Disini dibutuhkan angka pembantu.
Hal diatas lalu disempurnakan oleh ilmuwan India dengan memperkenalkan telor sebagai indikasian angka nol. Sepuluh ribu orang India meninggal karena kelaparan menuliskan angka 1 dengan empat butir telor dibelakangnya = 10000.
Demikian ilustrasi tentang kronologi perkembangan angka berdasarkan priodiknya hingga yang kita kenal sekarang ini. Namun yang menarik untuk dikaji dari fenomena angka tersebut adanya penyebutan angka dalam al-Qur’an yang mengandung nilai kemuk’jizatan yang tidak kita dapatkan dalam kitab suci manapun.
Berikut ini penulis akan mengetengahkan beberapa contoh saja yang menggambarkan ketinggian informasi dan ilmu pengetahuan yang terkandung didalam al-Qur’an - Insya Allah - pada Sayyidul Ayyam edisi lain akan saya ketengahkan contoh yang lebih spektakuler dari keagungan angka dalam al-Quran.
JC. Batler, guru besar di Colleg du France pada tahun 1982 mengemukakan penemuannya bahwa umur bumi ini diperkirakan mencapai 18 milyar tahun. Spektakulerkah ide ilmuwan perancis ini? tidak, penemuan Batler ini ternyata telah dikemukakan oleh al-Quran 14 abad yang lalu.
Contoh pertama dalam al-Quran Allah berfirman:«sesungguhnya satu hari disisi Tuhanmu adalah laksana hitungan seribu tahun menurutmu» (Q.S :Al Hajj : 47).
Firman Allah yang lain:
«Para malaikat dan Jibril naik menghadap Allah dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun» (Q.S :Al Ma'arij : 4).
Dari kedua ayat diatas, sebagaimana kita saksikan, Allah tidak menyebutkan kalimat «lima puluh ribu tahun menurut perhitunganmu» pada ayat yang kedua karena hari yang dimaksud pada ayat tersebut adalah menurut perhitungan Allah (1 hari = 1000 tahun). Dan hari tersebut adalah umur bumi, dengan kalkulasi sebagai berikut:
(50.000 x 30) x 12 = 18.000.000 hari (menurut perhitungan Tuhan), sedangkan sehari bagi Tuhan sama dengan 1000 tahun hitungan manusia seperti (Q.S :Al Hajj : 47).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa umur bumi semuanya adalah (50.000 x 30) x 12 = 18.000.000 hari Tuhan. Dan dikalikan 1000 tahun sama dengan (18.000.000.000) tahun manusia (baca: 18 milyar tahun).
Subhanallah…! Kalo hal ini menunjukkan suatu indikasi yang benar, maka penyebutan angka di dalam Al Qur'an sungguh merupakan mu'jizat yang sangat luar biasa.
Contoh kedua, Firman Allah yang berbunyi:
«dan mereka tinggal dalam goa mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun» (QS. Al Kahfi: 25).
Apakah rahasiah dari kalimat tiga ratus tahun ditambah sembilan tahun? kenapa Allah tidak menyebutkan langsung bahwa mereka tinggal di dalam goa selama 309 tahun? Ternyata dalam konteks ini Al Qur'an menyingkap rahasi dua penanggalan yang lumrah di pakai oleh umat manusia sekaligus yaitu Hujriyah dan Masehi (baca: Penanggalan Islam dan Penanggalan umum). Jika dihitung dalam penanggalan Masehi, maka Ashabul Kahfi (penghuni goa) berdiam di goa selama 300 tahun, sementara kalau dihitung dalam penanggalan Hijriyah, maka mereka berdiam di sana selama 309 tahun. Masehi lebih dahulu di sebutkan dari Hijriyah karena penanganggalan Masehi lebih tua dari penanggalan Hijriyah. Penjelasannya:

300 tahun Masehi = 300 x 365,2422 hari = 109572,66 hari
300 tahun Hijriah = 300 x 354,36056 hari =106310,11 hari
Perbedaan jumlah hari keduanya adalah 3262,55 hari. Maka jumlah tahun bagi keduanya adalah sebagai berikut:

@ 3262,55 : 354,36056 = 9,20669 tahun Hijriah (9 tahun)
@ 3262,55 : 365,2422 = 8,93256 tahun Masehi (88,9 atau 9 tahun).
Disini jelas bahwa Allah ingin mengenalkan kepad manusia dua konsep penaanggalan dan menyerahkan kepada manusia untuk memilih penanggalan yang menentramkan jiwa, kendatipun penanggalan Hijriah lebih spesifik milik umat islam, sabda Rasulullah : « janganlah senang meniru orang yahudi ». wallahu'aalambishawab….
Note: * Di saring dari Scripsi Licence Penulis tentang "Fenomena Angka di dalam Al Qur'an Dan Indikasinya", Univ. Al Qarawuyin Fak. Usuluddin Tetouan, Thn. 1999. "
Mu'jizat Angka di Dalam Al Qur'an

FENOMENA ANGKA DI DALAM AL QUR'AN

Angka adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Bagaimana tidak, setiap manusia mempunyai 1 kepala, 2 tangan, 2 kaki, dan seterusnya. Namun hakikatnya, tidak sesederhana itu. Orang Mesir kuno pada mulanya tidak mengenal angka, karena mereka lebih memperhatikan lukisan daripada hitungan. Tulisan heroglipnya dipergunakan untuk menggambarkan sesuatu. Misalnya, seorang istri pergi, dilukiskan dengan seorang perempuan sedang berjalan, dan sakit dilukiskan dengan perempuan sedang tidur. Ketika angka bilangan berkembang lukisanpun berulang. Saat ingin mengatakan saya datang dengan istri-istri saya 3 orang ia melukiskan seorang laki-laki berjalan dengan gaya membungkuk di ikuti 3 perempuan dengan paras jelek. Dan jika sedang berlibur bersama 3 orang kekasihnya, ia melukis laki-laki tidur bersandar pada 3 orang perempuan yang molek dan centil. Akan tetapi, masalah muncul kemudian apabila angka tersebut semakin membengkak, bagaimana seorang pedagang di Alexandaria misalnya memesan 5000 ekor ikan? sedangkan untuk menggambar 5000 ekor ikan tersebut sudah pasti akan mengkonsumsi semua kertas papirus yang ada di seluruh mesir.
Bangsa Irak yang terkenal pemalas memiliki ekspresi lain mereka menciptakan hurup bunyi. Misalnya menggambar 3 ekor ikan dengan menuliskan: tiga ekor ikan, 1000 ekor ikan dengan seribu ekor ikan. Menyusul bangsa Romawi memperkenalkan angka-angkanya yang khas dengan garis-garis horizontal, III artinya tiga, V artinya lima dan seterusnya. Namun angka-angka inipun tidak berarti luput dari kelemahan. Ia akan terbentur disaat berhadapan dengan proses hitung menghitung. Bagaimana membagi, menambah dan mengali? bagaimana menulis 20 orang wanita dengan seratus buah lidi-lidi romawi tadi? Disini dibutuhkan angka pembantu.
Hal diatas lalu disempurnakan oleh ilmuwan India dengan memperkenalkan telor sebagai indikasian angka nol. Sepuluh ribu orang India meninggal karena kelaparan menuliskan angka 1 dengan empat butir telor dibelakangnya = 10000.
Demikian ilustrasi tentang kronologi perkembangan angka berdasarkan priodiknya hingga yang kita kenal sekarang ini. Namun yang menarik untuk dikaji dari fenomena angka tersebut adanya penyebutan angka dalam al-Qur’an yang mengandung nilai kemuk’jizatan yang tidak kita dapatkan dalam kitab suci manapun.
Berikut ini penulis akan mengetengahkan beberapa contoh saja yang menggambarkan ketinggian informasi dan ilmu pengetahuan yang terkandung didalam al-Qur’an - Insya Allah - pada Sayyidul Ayyam edisi lain akan saya ketengahkan contoh yang lebih spektakuler dari keagungan angka dalam al-Quran.
JC. Batler, guru besar di Colleg du France pada tahun 1982 mengemukakan penemuannya bahwa umur bumi ini diperkirakan mencapai 18 milyar tahun. Spektakulerkah ide ilmuwan perancis ini? tidak, penemuan Batler ini ternyata telah dikemukakan oleh al-Quran 14 abad yang lalu.
Contoh pertama dalam al-Quran Allah berfirman:«sesungguhnya satu hari disisi Tuhanmu adalah laksana hitungan seribu tahun menurutmu» (Q.S :Al Hajj : 47).
Firman Allah yang lain:
«Para malaikat dan Jibril naik menghadap Allah dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun» (Q.S :Al Ma'arij : 4).
Dari kedua ayat diatas, sebagaimana kita saksikan, Allah tidak menyebutkan kalimat «lima puluh ribu tahun menurut perhitunganmu» pada ayat yang kedua karena hari yang dimaksud pada ayat tersebut adalah menurut perhitungan Allah (1 hari = 1000 tahun). Dan hari tersebut adalah umur bumi, dengan kalkulasi sebagai berikut:
(50.000 x 30) x 12 = 18.000.000 hari (menurut perhitungan Tuhan), sedangkan sehari bagi Tuhan sama dengan 1000 tahun hitungan manusia seperti (Q.S :Al Hajj : 47).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa umur bumi semuanya adalah (50.000 x 30) x 12 = 18.000.000 hari Tuhan. Dan dikalikan 1000 tahun sama dengan (18.000.000.000) tahun manusia (baca: 18 milyar tahun).
Subhanallah…! Kalo hal ini menunjukkan suatu indikasi yang benar, maka penyebutan angka di dalam Al Qur'an sungguh merupakan mu'jizat yang sangat luar biasa.
Contoh kedua, Firman Allah yang berbunyi:
«dan mereka tinggal dalam goa mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun» (QS. Al Kahfi: 25).
Apakah rahasiah dari kalimat tiga ratus tahun ditambah sembilan tahun? kenapa Allah tidak menyebutkan langsung bahwa mereka tinggal di dalam goa selama 309 tahun? Ternyata dalam konteks ini Al Qur'an menyingkap rahasi dua penanggalan yang lumrah di pakai oleh umat manusia sekaligus yaitu Hujriyah dan Masehi (baca: Penanggalan Islam dan Penanggalan umum). Jika dihitung dalam penanggalan Masehi, maka Ashabul Kahfi (penghuni goa) berdiam di goa selama 300 tahun, sementara kalau dihitung dalam penanggalan Hijriyah, maka mereka berdiam di sana selama 309 tahun. Masehi lebih dahulu di sebutkan dari Hijriyah karena penanganggalan Masehi lebih tua dari penanggalan Hijriyah. Penjelasannya:

300 tahun Masehi = 300 x 365,2422 hari = 109572,66 hari
300 tahun Hijriah = 300 x 354,36056 hari =106310,11 hari
Perbedaan jumlah hari keduanya adalah 3262,55 hari. Maka jumlah tahun bagi keduanya adalah sebagai berikut:

@ 3262,55 : 354,36056 = 9,20669 tahun Hijriah (9 tahun)
@ 3262,55 : 365,2422 = 8,93256 tahun Masehi (88,9 atau 9 tahun).
Disini jelas bahwa Allah ingin mengenalkan kepad manusia dua konsep penaanggalan dan menyerahkan kepada manusia untuk memilih penanggalan yang menentramkan jiwa, kendatipun penanggalan Hijriah lebih spesifik milik umat islam, sabda Rasulullah : « janganlah senang meniru orang yahudi ». wallahu'aalambishawab….
Note: * Di saring dari Scripsi Licence Penulis tentang "Fenomena Angka di dalam Al Qur'an Dan Indikasinya", Univ. Al Qarawuyin Fak. Usuluddin Tetouan, Thn. 1999. "

bedah buku

Wednesday, May 14, 2008
DR. MOHAMED ABED ALJABRI MUFASIR I

DR. MOHAMED ABED ALJABRI & BUKUNYA:
“WAWASAN AL QUR’AN AL HAKIM: TAFSIR PENJELASAN BERDASARKAN PERIODE TURUNNYA WAHYU”

Oleh: Med HATTA

Prolog:
Setelah menulis Juz: I & II dari derial proyek terbesarnya: “Mengenal Al Qur’an” (2006) dan “Sejarah Pembentukan Al Qur’an”, DR. Mohamed Abed Aljabri menerbitkan seri terbarunya berjudul: “Wawasan Al Qur’an Al Hakim: Tafsir Penjelasan berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu”. Buku ini merupakan lanjutan dari karya sebelumnya hanya berbeda dari penyajiaanya, yang terakhir ini memakai metode penjelasan berdasarkan periode turunnya wahyu.


BEDAH BUKU:
Penulis dalam membedah dan menyajikan buku ini membagi dalam tiga kategori: Pertama, garis besar isi buku, kedua, metodelogi penulisan dan ketiga, komentar & kritik terhadap buku dalam penjelasan sebagai berikut:

I. GARIS BESAR ISI BUKU:
Pada bagian pertama buku ini DR Aljabri membagi dalam tiga fase yang merupaka bab-bab buku, penulisnya memberikan keterangan pembuka setiap fase dan menutup dengan komentar dan penjelasan ringan berkenaan dengan tofik bahasan.

FASE I:
NUBUWAH, RUBUBIYAH DAN ULUHIYYAH
Yaitu tentang kenabian dan ketuhanan: Aljabri dalam fase ini mengumpulkan Surah-surah Al Qur’an yang berkenaan dengan tema, yaitu setiap Surah yang banyak menyebut kalimat: Ar Rab, Allah, Ar Rahman, Jalla-Jalaluhu. Dengan tetap konsukwen pada periode turunnya wahyu, di mulai surah: (Al Alaq, Al Mudatsir, Al Masad, At Takwir, Al A’laa, Al Lail, Al Fajr, Adh Dhuha, Asy Syarh, Al Aadiyat, Al Kautsar, At Takatsur, Al Ma’un, Al Kafirun, Al Fil, Al Falaq, An Nas, Al Ikhlash, Al Fatihah, Ar Rahman, An Najm, Abasa, Asy Syams, Al Buruj, At Tin dan Quraisy).

FASE II:
HARI KEBANGKITAN DAN FENOMENA KIAMAT ATAU HARI PERJANJIAN:
Pada bagian atau fase ini ia menafsirkan surah : (Al Qari’ah, Az Zalzalah, Al Qiyamat, Al Humazah, Al Mursalat, Qaf, Al Balad, Al Alaq (sambungan), Al Mudatsir (sambungan), Al Qalam, Ath Thariq dan Al Qamar).

FASE III :
PEMBATALAN SYIRIK DAN PENYEMBAHAN BERHALA:
Disini DR. Aljabri mengumpulkan dan menafsirkan Surah: (Shad, Al A’raf, Al Jin, Yasin, Al Furqan, Fatir, Maryam, Thaha, Al Waqiah, Asy Syu’araa, An Naml, Al Qashash, Yunus, Hud, Yusuf).

Patut dicatat bahwa DR. Aljabri dalam buku ini terkadang tidak menafsirkan Surah-surah tersebut secara utuh, hanya mengambil potongan ayat-ayat tertentu saja berdasarkan tema yang dibahas disetiap fase dalam buku tersebut.

II. METODOLOGI PENULISAN:
Penulis dapat menyimpulkan metodelogi yang dipergunaka DR. Mohamed Abed Aljaberi dan menyusun buku ini kepada empat poin pokok, sbb:

1. Aljaberi dalam menjelaskan fase demi fase dan tafsirannya dalam buku ini mengacu
pada urutan turunnya wahyu, bukan berdasarkan susunan « mashhaf » sebagaimana
lazimnya, walaupun terkadang rancu, bahkan tidak sedikit merevisi susunan
tersebut menyesuaikan tema yang dibahasnya.

2. Ketika dia menjelaskan dan menafsirkan Surah demi Surah dari setiap fase
pembahasan, memakai metode-metode tertentu, seperti:
- Penjelasan tentang Surah.
- Menguraikan maksud Surah atau potongan dari Surah berdasarkan tema.
- Komentar seputar isi kandungan Surah, dan jika diperlukan membagi kandungan
Surah kepada dua atau lebih sesuai tema yang ada.

3. Pada penjelasan Surah atau potongan Surah, Aljabri menyertakan arti kalimat
perkalimatnya dan maksudnya didalam dua tanda kurung. Dan meletakan nomor ayat di
atas kalimat terakhir diujung ayat.

4. Pada beberapa kesempatan dia menjadikan isi ayat sebagai judul disertakan dengan
pendahuluan dan penutup, seperti pada kasus menafsirkan Surah “Al Balad”.

III. KOMENTAR & KRITIK:
Setelah memaparkan garis besar isi kandungan buku ini dan metodelogi penulisnya. Dan demi tanggung jawab serta ‘amanah ilmiyah’, maka wajib atas penulis menyampaikan komentar dan kritikan berkenaan dengan isi buku dan metodeloginya, sebagai berikut:

1. DR. Abed Aljabri pada salah satu bukunya “Mengenal Al Qur’an” – jika apa yang
dipahami penulis benar – berpendapat bahwa membaca Al Qur’an dan memahaminya
harus berdasarkan periode turunnya wahyu… Sesungguhnya bukan hal spektakuler dan
tidak membawa gebrakan yang berarti. Sedangkan sebelumnya Regis Blacher saja
sudah terlebih dahulu merevisi terbitan kedua dari bukunya tentang urutan
turunnya wahyu tersebut, maka untuk apa lagi memakai metode serupa? Dan apa
urgensinya merombak susunan Al Qur’an berdasarkan urutan turunnya wahyu itu?

Sebagaimana diketahui bahwa asbab annuzul dan periode turunnya wahyu saling
terpaut antara Surah demi Surah dan ayat-ayat di dalam Al Qur’an. Betapa banyak
Surah Al Qur’an yang ayat-ayat di dalamnya berbeda waktu turunnya.

Seorang ulama besar Mohamed Ezzat Darrouza telah berusaha menafsirkan Al Qur’an
berdasarkan urutan waktu turunnya, tetapi usahanya-pun tidak mendatangkan sesuatu
yang baru. Karena kepaduan syariat dan perundang-undangan merupakan hal utama
pada rangkuman ayat-ayat yang saling terkait dan saling mendukung. Dan disamping
itu Al Qur’an diturunkan oleh Allah SWT, untuk menjadi petunjuk bagi manusia,
tidak ada kaitan dengan pertama dan terakhir turun kecuali hanya sebagai acuan
untuk dijadikan referensi hukum atau petunjuk saja. Sebagaimana pada kasus ayat-
ayat pengharaman khamr atau minuman keras yang turunkan secara bertahap kepada
orang-orang yang beriman hingga mereka meninggalkan secara total.

2. DR. Aljabri merujuk metode Imam Asy Syathibi dalam membaca Al Qur’an: “Surah-
surah madani seyogyanya diturunkan untuk memahami Surah-surah makki, demikian
juga makki menjelaskan satu sama lain berdasarkan urutan turunnya, kalau tidak
demikian halnya kurang tepat..”

Menurut penulis penggunaan metode Imam Asy Syathibi diatas oleh Aljabri dalam
kasus ini kurang tepat dan penarapannya sangat sempit. Karena Imam Asy Syathibi
meletakan metodenya tersebut dalam konteks berbicara mengenai beberapa metodelogi
yang harus diketahui untuk memahami Al Qur’an - yang saat kini masih perlu studi
khusus.

Seharusnya intelek seperti DR. Aljabri meletakan metode-metode baru atau yang
sudah umum untuk memahami Al Qur’an dengan pemahaman yang lebih maju. Seperti:
Pengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya; pengetahuan tentang
ilmu-ilmu Al-Quran, sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi, dan ushul fiqh;
pengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan dan pengetahuan tentang
disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat.

3. Penulis sepakat dengan DR. Mohamed Abed Aljaberi dalam kesimpulannya mengenai
ketidak majuaan ilmu tafsir, karena ilmu ini telah mengalami hal yang dialami
ilmu-ilmu keislaman lain dan bahkan mungkin lebih dahsyat. Jika benar ungkapan
otak islam telah berhenti berkarya atau berkurang kwalitas dan kwantitasnya
setelah paruh abad ke-14 hijriyah, maka ilmu tafsir-lah mengalami nasib yang
lebih memprihatinkan dibanding ilmu-ilmu keislaman yang lain.

Dan lebih parah lagi kurang cakepnya - kebanyakan - pemerhati ilmu ini dalam
menanggapi pendapat-pendapat seniornya - khususnya - memahami konteks Al Qur’an
sehingga kita temukan tafsir-tafsir yang muncul belakangan mirip satu sama
lainnya. Dan – maaf – Tafsir Al Qur’an yang ada sekarang mayoritas, kalau tidak
semuanya, dari berbagai coraknya terpengaruh pada kondisi pengarang dan situasi
sekitarnya. Seperti Tafsir “Memahami Al Qur’an” ini tidak layak/ cocok
untuk masa selanjutnya.

4. DR. Aljabri menghimbau dalam buku ini untuk meninjau kembali materi ilmu tafsir
karya-karya ulama terdahulu untuk merevisi dan mengembangkannya, hal ini
menurutnya penting kalau menginginkan adanya pembaharuan dalam bidang ini dan
membuktikan ke kekalan Al Qur’an serta mencapai sasarannya.

Adapun format alternatif yang diusulkan DR. Aljabri dalam bukunya ini sebagai
metodelogi pembaharuan ilmu tafsir dan pendalamannya, bagi penulis sendiri,
merupakan alternatif yang sangat dangkal untuk mencapai tujuan tersebut.
Bagaimana mungkin hanya menggunakan « simbol memahamai » dapat meracik bagian
terpenting pada sebuah tafsir penjelasan sedangkan pemahaman itu sendiri tidak
ada ?

Apa yang diusulkan DR. Aljaberi tersebut telah diperintahkan oleh Mohammad dan
merupakan hal yang harus, dia hanya menyempurnakan saja tidak lebih. Penulis
mengusulkan alternatif lain disini merupakan hal-hal yang sangat prinsif dalam
pemahaman yang penulis tidak menemukannya secara jelas dalam buku ini, sebagai
sample berikut:

- Mengkaji dengan kritis karya-karya intelektual bidang ilmu-ilmu Al Qur’an dan
merevisinya yang tidak relevan. Dan tetap pada prinsif kesucian konteks
AlQur’an.
- Mengkaji metedologi penafsiran pada karya intelektual ilmu tafsir.
- Menyingkirkan pendapat-pendapat “kemodern-an” dalam pemahaman dan tafsir.
- Mendalami ilmu linguistic dan ilmu-ilmu social kontemporer.

PENUTUP:
Terakhir dari penulis, buku « memahami Al Qur’an Al Hakim » karya DR. Mohamed Abed Aljabri, memerlukan studi lebih lanjut untuk mewaspadai maksudnya. Karena menimbulkan banyak pertanyaan dan isykal, masalahnya banyak dibumbuhi filsafat dan itu sudah pasti. Dan penulis masih akan banyak menyoroti tokoh ini dan karya-karyanya yang lain, disamping sebagai studi kritis tafsir dan ilmu-ilmu Al Qur’an juga berusaha memperkaya khazanah tafsir dan ilmu-ilmu Al Qur’an di Barat Islam dan Andalusia.

bedah buku

Wednesday, May 14, 2008
DR. MOHAMED ABED ALJABRI MUFASIR I

DR. MOHAMED ABED ALJABRI & BUKUNYA:
“WAWASAN AL QUR’AN AL HAKIM: TAFSIR PENJELASAN BERDASARKAN PERIODE TURUNNYA WAHYU”

Oleh: Med HATTA

Prolog:
Setelah menulis Juz: I & II dari derial proyek terbesarnya: “Mengenal Al Qur’an” (2006) dan “Sejarah Pembentukan Al Qur’an”, DR. Mohamed Abed Aljabri menerbitkan seri terbarunya berjudul: “Wawasan Al Qur’an Al Hakim: Tafsir Penjelasan berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu”. Buku ini merupakan lanjutan dari karya sebelumnya hanya berbeda dari penyajiaanya, yang terakhir ini memakai metode penjelasan berdasarkan periode turunnya wahyu.


BEDAH BUKU:
Penulis dalam membedah dan menyajikan buku ini membagi dalam tiga kategori: Pertama, garis besar isi buku, kedua, metodelogi penulisan dan ketiga, komentar & kritik terhadap buku dalam penjelasan sebagai berikut:

I. GARIS BESAR ISI BUKU:
Pada bagian pertama buku ini DR Aljabri membagi dalam tiga fase yang merupaka bab-bab buku, penulisnya memberikan keterangan pembuka setiap fase dan menutup dengan komentar dan penjelasan ringan berkenaan dengan tofik bahasan.

FASE I:
NUBUWAH, RUBUBIYAH DAN ULUHIYYAH
Yaitu tentang kenabian dan ketuhanan: Aljabri dalam fase ini mengumpulkan Surah-surah Al Qur’an yang berkenaan dengan tema, yaitu setiap Surah yang banyak menyebut kalimat: Ar Rab, Allah, Ar Rahman, Jalla-Jalaluhu. Dengan tetap konsukwen pada periode turunnya wahyu, di mulai surah: (Al Alaq, Al Mudatsir, Al Masad, At Takwir, Al A’laa, Al Lail, Al Fajr, Adh Dhuha, Asy Syarh, Al Aadiyat, Al Kautsar, At Takatsur, Al Ma’un, Al Kafirun, Al Fil, Al Falaq, An Nas, Al Ikhlash, Al Fatihah, Ar Rahman, An Najm, Abasa, Asy Syams, Al Buruj, At Tin dan Quraisy).

FASE II:
HARI KEBANGKITAN DAN FENOMENA KIAMAT ATAU HARI PERJANJIAN:
Pada bagian atau fase ini ia menafsirkan surah : (Al Qari’ah, Az Zalzalah, Al Qiyamat, Al Humazah, Al Mursalat, Qaf, Al Balad, Al Alaq (sambungan), Al Mudatsir (sambungan), Al Qalam, Ath Thariq dan Al Qamar).

FASE III :
PEMBATALAN SYIRIK DAN PENYEMBAHAN BERHALA:
Disini DR. Aljabri mengumpulkan dan menafsirkan Surah: (Shad, Al A’raf, Al Jin, Yasin, Al Furqan, Fatir, Maryam, Thaha, Al Waqiah, Asy Syu’araa, An Naml, Al Qashash, Yunus, Hud, Yusuf).

Patut dicatat bahwa DR. Aljabri dalam buku ini terkadang tidak menafsirkan Surah-surah tersebut secara utuh, hanya mengambil potongan ayat-ayat tertentu saja berdasarkan tema yang dibahas disetiap fase dalam buku tersebut.

II. METODOLOGI PENULISAN:
Penulis dapat menyimpulkan metodelogi yang dipergunaka DR. Mohamed Abed Aljaberi dan menyusun buku ini kepada empat poin pokok, sbb:

1. Aljaberi dalam menjelaskan fase demi fase dan tafsirannya dalam buku ini mengacu
pada urutan turunnya wahyu, bukan berdasarkan susunan « mashhaf » sebagaimana
lazimnya, walaupun terkadang rancu, bahkan tidak sedikit merevisi susunan
tersebut menyesuaikan tema yang dibahasnya.

2. Ketika dia menjelaskan dan menafsirkan Surah demi Surah dari setiap fase
pembahasan, memakai metode-metode tertentu, seperti:
- Penjelasan tentang Surah.
- Menguraikan maksud Surah atau potongan dari Surah berdasarkan tema.
- Komentar seputar isi kandungan Surah, dan jika diperlukan membagi kandungan
Surah kepada dua atau lebih sesuai tema yang ada.

3. Pada penjelasan Surah atau potongan Surah, Aljabri menyertakan arti kalimat
perkalimatnya dan maksudnya didalam dua tanda kurung. Dan meletakan nomor ayat di
atas kalimat terakhir diujung ayat.

4. Pada beberapa kesempatan dia menjadikan isi ayat sebagai judul disertakan dengan
pendahuluan dan penutup, seperti pada kasus menafsirkan Surah “Al Balad”.

III. KOMENTAR & KRITIK:
Setelah memaparkan garis besar isi kandungan buku ini dan metodelogi penulisnya. Dan demi tanggung jawab serta ‘amanah ilmiyah’, maka wajib atas penulis menyampaikan komentar dan kritikan berkenaan dengan isi buku dan metodeloginya, sebagai berikut:

1. DR. Abed Aljabri pada salah satu bukunya “Mengenal Al Qur’an” – jika apa yang
dipahami penulis benar – berpendapat bahwa membaca Al Qur’an dan memahaminya
harus berdasarkan periode turunnya wahyu… Sesungguhnya bukan hal spektakuler dan
tidak membawa gebrakan yang berarti. Sedangkan sebelumnya Regis Blacher saja
sudah terlebih dahulu merevisi terbitan kedua dari bukunya tentang urutan
turunnya wahyu tersebut, maka untuk apa lagi memakai metode serupa? Dan apa
urgensinya merombak susunan Al Qur’an berdasarkan urutan turunnya wahyu itu?

Sebagaimana diketahui bahwa asbab annuzul dan periode turunnya wahyu saling
terpaut antara Surah demi Surah dan ayat-ayat di dalam Al Qur’an. Betapa banyak
Surah Al Qur’an yang ayat-ayat di dalamnya berbeda waktu turunnya.

Seorang ulama besar Mohamed Ezzat Darrouza telah berusaha menafsirkan Al Qur’an
berdasarkan urutan waktu turunnya, tetapi usahanya-pun tidak mendatangkan sesuatu
yang baru. Karena kepaduan syariat dan perundang-undangan merupakan hal utama
pada rangkuman ayat-ayat yang saling terkait dan saling mendukung. Dan disamping
itu Al Qur’an diturunkan oleh Allah SWT, untuk menjadi petunjuk bagi manusia,
tidak ada kaitan dengan pertama dan terakhir turun kecuali hanya sebagai acuan
untuk dijadikan referensi hukum atau petunjuk saja. Sebagaimana pada kasus ayat-
ayat pengharaman khamr atau minuman keras yang turunkan secara bertahap kepada
orang-orang yang beriman hingga mereka meninggalkan secara total.

2. DR. Aljabri merujuk metode Imam Asy Syathibi dalam membaca Al Qur’an: “Surah-
surah madani seyogyanya diturunkan untuk memahami Surah-surah makki, demikian
juga makki menjelaskan satu sama lain berdasarkan urutan turunnya, kalau tidak
demikian halnya kurang tepat..”

Menurut penulis penggunaan metode Imam Asy Syathibi diatas oleh Aljabri dalam
kasus ini kurang tepat dan penarapannya sangat sempit. Karena Imam Asy Syathibi
meletakan metodenya tersebut dalam konteks berbicara mengenai beberapa metodelogi
yang harus diketahui untuk memahami Al Qur’an - yang saat kini masih perlu studi
khusus.

Seharusnya intelek seperti DR. Aljabri meletakan metode-metode baru atau yang
sudah umum untuk memahami Al Qur’an dengan pemahaman yang lebih maju. Seperti:
Pengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya; pengetahuan tentang
ilmu-ilmu Al-Quran, sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi, dan ushul fiqh;
pengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan dan pengetahuan tentang
disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat.

3. Penulis sepakat dengan DR. Mohamed Abed Aljaberi dalam kesimpulannya mengenai
ketidak majuaan ilmu tafsir, karena ilmu ini telah mengalami hal yang dialami
ilmu-ilmu keislaman lain dan bahkan mungkin lebih dahsyat. Jika benar ungkapan
otak islam telah berhenti berkarya atau berkurang kwalitas dan kwantitasnya
setelah paruh abad ke-14 hijriyah, maka ilmu tafsir-lah mengalami nasib yang
lebih memprihatinkan dibanding ilmu-ilmu keislaman yang lain.

Dan lebih parah lagi kurang cakepnya - kebanyakan - pemerhati ilmu ini dalam
menanggapi pendapat-pendapat seniornya - khususnya - memahami konteks Al Qur’an
sehingga kita temukan tafsir-tafsir yang muncul belakangan mirip satu sama
lainnya. Dan – maaf – Tafsir Al Qur’an yang ada sekarang mayoritas, kalau tidak
semuanya, dari berbagai coraknya terpengaruh pada kondisi pengarang dan situasi
sekitarnya. Seperti Tafsir “Memahami Al Qur’an” ini tidak layak/ cocok
untuk masa selanjutnya.

4. DR. Aljabri menghimbau dalam buku ini untuk meninjau kembali materi ilmu tafsir
karya-karya ulama terdahulu untuk merevisi dan mengembangkannya, hal ini
menurutnya penting kalau menginginkan adanya pembaharuan dalam bidang ini dan
membuktikan ke kekalan Al Qur’an serta mencapai sasarannya.

Adapun format alternatif yang diusulkan DR. Aljabri dalam bukunya ini sebagai
metodelogi pembaharuan ilmu tafsir dan pendalamannya, bagi penulis sendiri,
merupakan alternatif yang sangat dangkal untuk mencapai tujuan tersebut.
Bagaimana mungkin hanya menggunakan « simbol memahamai » dapat meracik bagian
terpenting pada sebuah tafsir penjelasan sedangkan pemahaman itu sendiri tidak
ada ?

Apa yang diusulkan DR. Aljaberi tersebut telah diperintahkan oleh Mohammad dan
merupakan hal yang harus, dia hanya menyempurnakan saja tidak lebih. Penulis
mengusulkan alternatif lain disini merupakan hal-hal yang sangat prinsif dalam
pemahaman yang penulis tidak menemukannya secara jelas dalam buku ini, sebagai
sample berikut:

- Mengkaji dengan kritis karya-karya intelektual bidang ilmu-ilmu Al Qur’an dan
merevisinya yang tidak relevan. Dan tetap pada prinsif kesucian konteks
AlQur’an.
- Mengkaji metedologi penafsiran pada karya intelektual ilmu tafsir.
- Menyingkirkan pendapat-pendapat “kemodern-an” dalam pemahaman dan tafsir.
- Mendalami ilmu linguistic dan ilmu-ilmu social kontemporer.

PENUTUP:
Terakhir dari penulis, buku « memahami Al Qur’an Al Hakim » karya DR. Mohamed Abed Aljabri, memerlukan studi lebih lanjut untuk mewaspadai maksudnya. Karena menimbulkan banyak pertanyaan dan isykal, masalahnya banyak dibumbuhi filsafat dan itu sudah pasti. Dan penulis masih akan banyak menyoroti tokoh ini dan karya-karyanya yang lain, disamping sebagai studi kritis tafsir dan ilmu-ilmu Al Qur’an juga berusaha memperkaya khazanah tafsir dan ilmu-ilmu Al Qur’an di Barat Islam dan Andalusia.

Kamis, 11 September 2008

TERMOMETER

TERMOMETER
Termometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur suhu (temperatur), ataupun perubahan suhu. Istilah termometer berasal dari bahasa Latin thermo yang berarti bahang dan meter yang berarti untuk mengukur. Prinsip kerja termometer ada bermacam-macam, yang paling umum digunakan adalah termometer air raksa.
Jenis termometer
Ada bermacam-macam termometer menurut cara kerjanya:
Termometer air raksa
Termokopel
Termometer inframerah
Termometer Galileo
Termistor
Termometer bimetal mekanik
Sensor suhu bandgap silikon
merkuri termo

























Termometer air raksa
Termometer air raksa dalam gelas adalah termometer yang dibuat dari air raksa yang ditempatkan pada suatu tabung kaca. Tanda yang dikalibrasi pada tabung membuat temperatur dapat dibaca sesuai panjang air raksa di dalam gelas, bervariasi sesuai suhu. Untuk meningkatkan ketelitian, biasanya ada bohlam air raksa pada ujung termometer yang berisi sebagian besar air raksa; pemuaian dan penyempitan volume air raksa kemudian dilanjutkan ke bagian tabung yang lebih sempit. Ruangan di antara air raksa dapat diisi atau dibiarkan kosong.
Sebagai pengganti air raksa, beberapa termometer keluarga mengandung alkohol dengan tambahan pewarna merah. Termometer ini lebih aman dan mudah untuk dibaca.
Jenis khusus termometer air raksa, disebut termometer maksimun, bekerja dengan adanya katup pada leher tabung dekat bohlam. Saat suhu naik, air raksa didorong ke atas melalui katup oleh gaya pemuaian. Saat suhu turun air raksa tertahan pada katup dan tidak dapat kembali ke bohlam membuat air raksa tetap di dalam tabung. Pembaca kemudian dapat membaca temperatur maksimun selama waktu yang telah ditentukan. Untuk mengembalikan fungsinya, termometer harus diayunkan dengan keras. Termometer ini mirip desain termometer medis.
Air raksa akan membeku pada suhu -38.83 °C (-37.89 °F) dan hanya dapat digunakan pada suhu di atasnya. Air raksa, tidak seperti air, tidak mengembang saat membeku sehingga tidak memecahkan tabung kaca, membuatnya sulit diamati ketika membeku. Jika termometer mengandung nitrogen, gas mungkin mengalir turun ke dalam kolom dan terjebak di sana ketika temperatur naik. Jika ini terjadi termometer tidak dapat digunakan hingga kembali ke kondisi awal. Untuk menghindarinya, termometer air raksa sebaiknya dimasukkan ke dalam tempat yang hangat saat temperatur di bawah -37 °C (-34.6 °F). Pada area di mana suhu maksimum tidak diharapkan naik di atas - 38.83 ° C (-37.89 °F) termometer yang memakai campuran air raksa dan thallium mungkin bisa dipakai. Termometer ini mempunyai titik beku of -61.1 °C (-78 °F).
Termometer air raksa umumnya menggunakan skala suhu Celsius dan Fahrenhait. Anders Celsius merumuskan skala Celsius, yang dipaparkan pada publikasinya ”the origin of the Celsius temperature scale” pada 1742.
Celsius memakai dua titik penting pada skalanya: suhu saat es mencair dan suhu penguapan air. Ini bukanlah ide baru, sejak dulu Isaac Newton bekerja dengan sesuatu yang mirip. Pengukuran suhu celsius menggunakan suhu pencairan dan bukan suhu pembekuan. Eksperimen untuk mendapat kalibrasi yang lebih baik pada termometer Celsius dilakukan selama 2 minggu setelah itu. Dengan melakukan eksperimen yang sama berulang-ulang, dia menemukan es mencair pada tanda kalibrasi yang sama pada termometer. Dia menemukan titik yang sama pada kalibrasi pada uap air yang mendidih (saat percobaan dilakukan dengan ketelitian tinggi, variasi terlihat dengan variasi tekanan atmosfir). Saat dia mengeluarkan termometer dari uap air, ketinggian air raksa turun perlahan. Ini berhubungan dengan kecepatan pendinginan (dan pemuaian kaca tabung).
Tekanan udara mempengaruhi titik didih air. Celsius mengklaim bahwa ketinggian air raksa saat penguapan air sebanding dengan ketinggian barometer.
Saat Celsius memutuskan untuk menggunakan skala temperaturnya sendiri, dia menentukan titik didih pada 0 °C (212 °F) dan titik beku pada 100 °C (32 °F). Satu tahun kemudian Frenchman Jean Pierre Cristin mengusulkan versi kebalikan skala celsius dengan titik beku pada 0 °C (32 °F) dan titik didih pada 100 °C (212 °F). Dia menamakannya Centrigade.
Pada akhirnya, Celsius mengusulkan metode kalibrasi termometer sbb:
1. Tempatkan silinder termometer pada air murni meleleh dan tandai titik saat cairan di dalam termometer sudah stabil. ini adalah titik beku air.
2. Dengan cara yang sama tandai titik di mana cairan sudah stabil ketika termometer ditempatkan di dalam uap air mendidih.
3. Bagilah panjang di antara kedua titik dengan 100 bagian kecil yang sama.
Titik-titik ini ditambahkan pada kalibrasi rata-rata tetapi keduanya sangat tergantung tekanan udara. Saat ini, tiga titik air digunakan sebagai pengganti (titik ketiga terjadi pada 273.16 kelvins (K), 0.01 °C). CATATAN: Semua perpindahan panas berhenti pada 0 K, Tetapi suhu ini masih mustahil dicapai karena secara fisika masih tidak mungkin menghentikan partikel.
Hari ini termometer air raksa masih banyak digunakan dalam bidang meteorologi, tetapi pengguanaan pada bidang-bidang lain semakin berkurang, karena air raksa secara permanen sangat beracun pada sistem yang rapuh dan beberapa negara maju telah mengutuk penggunaannya untuk tujuan medis. Beberapa perusahaan menggunakan campuran gallium, indium, dan tin (galinstan) sebagai pengganti air raksa.




Termokopel
Alat pengukur suhu dengan termokopel
Pada dunia elektronika, termokopel adalah sensor suhu yang banyak digunakan untuk mengubah perbedaan panas dalam benda yang diukur temperaturnya menjadi perubahan potesial/ tegangan listrik (voltase). Termokopel yang sederhana dapat dipasang, dan memiliki jenis konektor standar yang sama, serta dapat mengukur temperatur dalam jangkauan suhu yang cukup besar dengan batas kesalahan pengukuran kurang dari 1 °C.
Prinsip Operasi
Pada tahun 1821, seorang fisikawan Estonia bernama Thomas Johann Seebeck menemukan bahwa sebuah konduktor (semacam logam) yang diberi perbedaan panas secara gradien akan menghasilkan tegangan listrik. Hal ini disebut sebagai efek termoelektrik. Untuk mengukur perubahan panas ini gabungan dua macam konduktor sekaligus sering dipakai pada ujung benda panas yang diukur. Konduktor tambahan ini kemudian akan mengalami gradiasi suhu, dan mengalami perubahan tegangan secara berkebalikan dengan perbedaan temperatur benda. Menggunakan logam yang berbeda untuk melengkapi sirkuit akan menghasilkan tegangan yang berbeda, meninggalkan perbedaan kecil tegangan memungkinkan kita melakukan pengukuran, yang bertambah sesuai temperatur. Perbedaan ini umumnya berkisar antara 1 hingga 70 microvolt tiap derajad celcius untuk kisaran yang dihasilkan kombinasi logam modern. Beberapa kombinasi menjadi populer sebagai standar industri, dilihat dari biaya, ketersediaanya, kemudahan, titik lebur, kemampuan kimia, stabilitas, dan hasil. Sangat penting diingat bahwa termokopel mengukur perbedaan temperatur di antara 2 titik, bukan temperatur absolut.
Pada banyak aplikasi, salah satu sambungan —sambungan yang dingin— dijaga sebagai temperatur referensi, sedang yang lain dihubungkan pada objek pengukuran. contoh, pada gambar di atas, hubungan dingin akan ditempatkan pada tembaga pada papan sirkuit. Sensor suhu yang lain akan mengukur suhu pada titik ini, sehingga suhu pada ujung benda yang diperiksa dapat dihitung. Termokopel dapat dihubungkan secara seri satu sama lain untuk membuat termopile, dimana tiap sambungan yang panas diarahkan ke suhu yang lebih tinggi dan semua sambungan dingin ke suhu yang lebih rendah. Dengan begitu, tegangan pada setiap termokopel menjadi naik, yang memungkinkan untuk digunakan pada tegangan yang lebih tinggi. Dengan adanya suhu tetapan pada sambungan dingin, yang berguna untuk pengukuran di laboratorium, secara sederhana termokopel tidak mudah dipakai untuk kebanyakan indikasi sambungan lansung dan instrumen kontrol. Mereka menambahkan sambungan dingin tiruan ke sirkuit mereka yaitu peralatan lain yang sensitif terhadap suhu (seperti termistor atau dioda) untuk mengukur suhu sambungan input pada peralatan, dengan tujuan khusus untuk mengurangi gradiasi suhu di antara ujung-ujungnya. Di sini, tegangan yang berasal dari hubungan dingin yang diketahui dapat disimulasikan, dan koreksi yang baik dapat diaplikasikan. Hal ini dikenal dengan kompensasi hubungan dingin. Biasanya termokopel dihubungkan dengan alat indikasi oleh kawat yang disebut kabel ekstensi atau kompensasi. Tujuannya sudah jelas. Kabel ekstensi menggunakan kawat-kawat dengan jumlah yang sama dengan kondoktur yang dipakai pada Termokopel itu sendiri. Kabel-kabel ini lebih murah daripada kabel termokopel, walaupun tidak terlalu murah, dan biasanya diproduksi pada bentuk yang tepat untuk pengangkutan jarak jauh – umumnya sebagai kawat tertutup fleksibel atau kabel multi inti. Kabel-kabel ini biasanya memiliki spesifikasi untuk rentang suhu yang lebih besar dari kabel termokopel. Kabel ini direkomendasikan untuk keakuratan tinggi. Kabel kompensasi pada sisi lain, kurang presisi, tetapi murah. Mereka memakai perbedaan kecil, biasanya campuran material konduktor yang murah yang memiliki koefisien termoelektrik yang sama dengan termokopel (bekerja pada rentang suhu terbatas), dengan hasil yang tidak seakurat kabel ekstensi. Kombinasi ini menghasilkan output yang mirip dengan termokopel, tetapi operasi rentang suhu pada kabel kompensasi dibatasi untuk menjaga agar kesalahan yang diperoleh kecil. Kabel ekstensi atau kompensasi harus dipilih sesuai kebutuhan termokopel. Pemilihan ini menghasilkan tegangan yang proporsional terhadap beda suhu antara sambungan panas dan dingin, dan kutub harus dihubungkan dengan benar sehingga tegangan tambahan ditambahkan pada tegangan termokopel, menggantikan perbedaan suhu antara sambungan panas dan dingin.
Hubungan Tegangan dan Suhu
Hubungan antara perbedaan suhu dengan tegangan yang dihasilkan termokopel bukan merupakan fungsi linier melainkan fungsi interpolasi polinomial
Koefisien an memiliki n antara 5 dan 9. Agar diperoleh hasil pengukuran yang akurat, persamaan biasanya diimplementasikan pada kontroler digital atau disimpan dalam sebuah tabel pengamatan. Beberapa peralatan yang lebih tua menggunakan filter analog.
Tipe-Tipe Termokopel
Tersedia beberapa jenis termokopel, tergantung aplikasi penggunaannya
Tipe K (Chromel (Ni-Cr alloy) / Alumel (Ni-Al alloy)) Termokopel untuk tujuan umum. Lebih murah. Tersedia untuk rentang suhu −200 °C hingga +1200 °C.
Tipe E (Chromel / Constantan (Cu-Ni alloy))
Tipe E memiliki output yang besar (68 µV/°C) membuatnya cocok digunakan pada temperatur rendah. Properti lainnya tipe E adalah tipe non magnetik.
Tipe J (Iron / Constantan) Rentangnya terbatas (−40 hingga +750 °C) membuatnya kurang populer dibanding tipe K
Tipe J memiliki sensitivitas sekitar ~52 µV/°C
Tipe N (Nicrosil (Ni-Cr-Si alloy) / Nisil (Ni-Si alloy)) Stabil dan tahanan yang tinggi terhadap oksidasi membuat tipe N cocok untuk pengukuran suhu yang tinggi tanpa platinum. Dapat mengukur suhu di atas 1200 °C. Sensitifitasnya sekitar 39 µV/°C pada 900°C, sedikit di bawah tipe K. Tipe N merupakan perbaikan tipe K
Termokopel tipe B, R, dan S adalah termokopel logam mulia yang memiliki karakteristik yang hampir sama. Mereka adalah termokopel yang paling stabil, tetapi karena sensitifitasnya rendah (sekitar 10 µV/°C) mereka biasanya hanya digunakan untuk mengukur temperatur tinggi (>300 °C).
Type B (Platinum-Rhodium/Pt-Rh) Cocok mengukur suhu di atas 1800 °C. Tipe B memberi output yang sama pada suhu 0°C hingga 42°C sehingga tidak dapat dipakai di bawah suhu 50°C.
Type R (Platinum /Platinum with 7% Rhodium) Cocok mengukur suhu di atas 1600 °C. sensitivitas rendah (10 µV/°C) dan biaya tinggi membuat mereka tidak cocok dipakai untuk tujuan umum.
Type S (Platinum /Platinum with 10% Rhodium) Cocok mengukur suhu di atas 1600 °C. sensitivitas rendah (10 µV/°C) dan biaya tinggi membuat mereka tidak cocok dipakai untuk tujuan umum. Karena stabilitasnya yang tinggi Tipe S digunakan untuk standar pengukuran titik leleh emas (1064.43 °C).
Type T (Copper / Constantan) Cocok untuk pengukuran antara −200 to 350 °C. Konduktor positif terbuat dari tembaga, dan yang negatif terbuat dari constantan. Sering dipakai sebagai alat pengukur alternatif sejak penelitian kawat tembaga. Type T memiliki sensitifitas ~43 µV/°C
Penggunaan Termokopel
Termokopel paling cocok digunakan untuk mengukur rentangan suhu yang luas, hingga 1800 K. Sebaliknya, kurang cocok untuk pengukuran dimana perbedaan suhu yang kecil harus diukur dengan akurasi tingkat tinggi, contohnya rentang suhu 0--100 °C dengan keakuratan 0.1 °C. Untuk aplikasi ini, Termistor dan RTD lebih cocok. Contoh Penggunaan Termokopel yang umum antara lain :
o Industri besi dan baja
o Pengaman pada alat-alat pemanas
o Untuk termopile sensor radiasi
o Pembangkit listrik tenaga panas radioisotop, salah satu aplikasi termopile.
Termometer infra merah
Termometer Infra Merah menawarkan kemampuan untuk mendeteksi temperatur secara optik – selama objek diamati, radiasi energi sinar infra merah diukur, dan disajikan sebagai suhu. Mereka menawarkan metode pengukuran suhu yang cepat dan akurat dengan objek dari kejauhan dan tanpa disentuh – situasi ideal dimana objek bergerak cepat, jauh letaknya, sangat panas, berada di lingkungan yang bahaya, dan/atau adanya kebutuhan menghindari kontaminasi objek (seperti makanan/alat medis/obat-obatan/produk atau test, dll.). Produk pengukur suhu infra merah tersedia di pasaran, Mulai dari yang fleksibel hingga fungsi-fungsi khusus/Termometer standar (seperti gambar), hingga sistem pembaca yang lebih komplek dan kamera pencitraan panas. Ini adalah citra/gambar dari termometer infra merah khusus industri yang digunakan memonitor suhu material cair untuk tujuan quality control pada proses manufaktur.
Termometers Infra Merah mengukur suhu menggunakan radiasi kotak hitam (biasanya infra merah) yang dipancarkan objek. Kadang disebut termometer laser jika menggunakan laser untuk membantu pekerjaan pengukuran, atau termometer tanpa sentuhan untuk menggambarkan kemampuan alat mengukur suhu dari jarak jauh. Dengan mengetahui jumlah energi infra merah yang dipancarkan oleh objek dan emisi nya, Temperatur objek dapat dibedakan.
Desain utama terdiri dari lensa pemfokus energi infra merah pada detektor, yang mengubah energi menjadi sinyal elektrik yang bisa ditunjukkan dalam unit temperatur setelah disesuaikan dengan variasi temperatur lingkungan. Konfigurasi fasilitas pengukur suhu ini bekerja dari jarak jauh tanpa menyentuh objek. Dengan demikian, termometer infra merah berguna mengukur suhu pada keadaan dimana termokopel atau sensor tipe lainnya tidak dapat digunakan atau tidak menghasilkan suhu yang akurat untuk beberapa keperluan.
Penggunaan Termometer Infra Merah
Beberapa kondisi umum adalah objek yang akan diukur dalam kondisi bergerak; objek dikelilingi medan elektromagnet, seperti pada pemanasan induksi; objek berada pada hampa udara atau atmosfir buatan; atau pada aplikasi di mana dibutuhkan respon yang cepat.
Termometers Infrared dapat digunakan untuk beberapa fungsi pengamatan temperatur. Beberapa contoh, antara lain:
• Mendeteksi awan untuk sistem operasi teleskop jarak jauh.
• Memeriksa peralatan mekanika atau kotak sakering listrik atau saluran hotspot
• Memeriksa suhu pemanas atau oven, untuk tujuan kontrol dan kalibrasi
• Mendeteksi titik api/menunjukkan diagnosa pada produksi papan rangkaian listrik
• Memeriksa titik api bagi pemadam kebakaran
• Memonitor proses pendinginan atau pemanasan material, untuk penelitian dan pengembangan atau quality control pada manufaktur
Ada beberapa jenis alat pengukur temperatur infra merah yang tersedia saat ini, termasuk desain konfigurasi untuk penggunaan fleksibel dan portabel, selain desain-desain khusus untuk fungsi tertentu pada posisi tetap dalam jangka waktu yang lama
Beberapa spesifikasi sensor portabel tersedia untuk pengguna rumahan termasuk tingkat keakuratannya (biasanya kurang lebih satu-dua derajad), plus beberapa derajad dibawahnya untuk pengukuran umum. Rasio Jarak:Titika Api (D:S) menunjukkan perbandingan diameter luas pengukuran panas dengan jarak alat terhadap permukaan objek. Contoh, apabila luas permukaan objek anda satu cm persegi dan anda tidak dapat lebih dekat daripada 12 cm ke objek, anda membutuhkan sensor dengan D:S 12:1 atau lebih. Fungsi yang lain ialah ada sensor yang memakai emisivitas konstan ada pula yang harus diatur. Untuk yang konstan, anda tidak dapat mengatur keakuratan pembacaan pada permukaan yang terang (sebagian besar sensor dirancang untuk permukaan gelap). Sensor emitivitas konstan dapat dipakai pada permukaan terang hanya dengan menambahkan pita gelap pada permukaan benda atau mengecatnya.
Jenis Sensor
Variasi sensor yang umum termasuk: • Termometers Infra Merah Titik, disebut juga Pyrometer Infra Merah, didesain untuk memonitor luasan sempit atau titik tertentu.
Gambar di atas menunjukkan hasil “Sistem Pencitraan Garis” untuk mengukur suhu permukaan dapur pembakar semen.
• Sistem Pencitraan Garis Infra Merah, biasanya membantu menentukan titik api yang penting pada pencerminan putar, untuk secara terus-menerus memindai permukaan yang luas pada ruang. Alat ini banyak digunakan pada manufaktur yang melibatkan konveyer atau proses jaring-jaring, seperti lembaran kaca besar atau logam yang keluar dari tungku, pabrik dan kertas, atau tumpukan material yang terus menerus sepanjang sabuk konveyer.
• Kamera Infra Merah, Termometer infra merah yang didesain khusus sebagai kamera, memonitor banyak titik pada saat yang sama, hasilnya berupa gambar 2 dimensi, di mana tiap pixel menunjukkan temperatur. Teknologi ini umumnya membutuhkan banyak prosesor dan software daripada sistem sebelumnya, digunakan memindai area yang luas. Aplikasi yang umum termasuk untuk memonitor batas negara bagi militer, pengawasan kualitas pada proses manufaktur, dan pengawasan peralatan atau ruang kerja yang panas/dingin untuk tujuan keselamatan dan pemeliharaan.

Termometer Galileo
Termometer Galileo adalah termometer yang dibuat dari air raksa yang ditempatkan pada suatu tabung kaca. Tanda yang dikalibrasi pada tabung membuat temperatur dapat dibaca sesuai panjang air raksa di dalam gelas, bervariasi sesuai suhu. Untuk meningkatkan ketelitian, biasanya ada bohlam air raksa pada ujung termometer yang berisi sebagian besar air raksa; pemuaian dan penyempitan volume air raksa kemudian dilanjutkan ke bagian tabung yang lebih sempit. Ruangan di antara air raksa dapat diisi atau dibiarkan kosong.
Sebagai pengganti air raksa, beberapa termometer keluarga mengandung alkohol dengan tambahan pewarna merah. Termometer ini lebih aman dan mudah untuk dibaca.
Jenis khusus termometer air raksa, disebut termometer maksimun, bekerja dengan adanya katup pada leher tabung dekat bohlam. Saat suhu naik, air raksa didorong ke atas melalui katup oleh gaya pemuaian. Saat suhu turun air raksa tertahan pada katup dan tidak dapat kembali ke bohlam membuat air raksa tetap di dalam tabung. Pembaca kemudian dapat membaca temperatur maksimun selama waktu yang telah ditentukan. Untuk mengembalikan fungsinya, termometer harus diayunkan dengan keras. Termometer ini mirip desain termometer medis.
Air raksa akan membeku pada suhu -38.83 °C (-37.89 °F) dan hanya dapat digunakan pada suhu di atasnya. Air raksa, tidak seperti air, tidak mengembang saat membeku sehingga tidak memecahkan tabung kaca, membuatnya sulit diamati ketika membeku. Jika termometer mengandung nitrogen, gas mungkin mengalir turun ke dalam kolom dan terjebak di sana ketika temperatur naik. Jika ini terjadi termometer tidak dapat digunakan hingga kembali ke kondisi awal. Untuk menghindarinya, termometer air raksa sebaiknya dimasukkan ke dalam tempat yang hangat saat temperatur di bawah -37 °C (-34.6 °F). Pada area di mana suhu maksimum tidak diharapkan naik di atas - 38.83 ° C (-37.89 °F) termometer yang memakai campuran air raksa dan thallium mungkin bisa dipakai. Termometer ini mempunyai titik beku of -61.1 °C (-78 °F).
Termometer air raksa umumnya menggunakan skala suhu Celsius dan Fahrenhait. Anders Celsius merumuskan skala Celsius, yang dipaparkan pada publikasinya ”the origin of the Celsius temperature scale” pada 1742.
Celsius memakai dua titik penting pada skalanya: suhu saat es mencair dan suhu penguapan air. Ini bukanlah ide baru, sejak dulu Isaac Newton bekerja dengan sesuatu yang mirip. Pengukuran suhu celsius menggunakan suhu pencairan dan bukan suhu pembekuan. Eksperimen untuk mendapat kalibrasi yang lebih baik pada termometer Celsius dilakukan selama 2 minggu setelah itu. Dengan melakukan eksperimen yang sama berulang-ulang, dia menemukan es mencair pada tanda kalibrasi yang sama pada termometer. Dia menemukan titik yang sama pada kalibrasi pada uap air yang mendidih (saat percobaan dilakukan dengan ketelitian tinggi, variasi terlihat dengan variasi tekanan atmosfir). Saat dia mengeluarkan termometer dari uap air, ketinggian air raksa turun perlahan. Ini berhubungan dengan kecepatan pendinginan (dan pemuaian kaca tabung).
Tekanan udara mempengaruhi titik didih air. Celsius mengklaim bahwa ketinggian air raksa saat penguapan air sebanding dengan ketinggian barometer.
Saat Celsius memutuskan untuk menggunakan skala temperaturnya sendiri, dia menentukan titik didih pada 0 °C (212 °F) dan titik beku pada 100 °C (32 °F). Satu tahun kemudian Frenchman Jean Pierre Cristin mengusulkan versi kebalikan skala celsius dengan titik beku pada 0 °C (32 °F) dan titik didih pada 100 °C (212 °F). Dia menamakannya Centrigade.
Pada akhirnya, Celsius mengusulkan metode kalibrasi termometer sbb:
1. Tempatkan silinder termometer pada air murni meleleh dan tandai titik saat cairan di dalam termometer sudah stabil. ini adalah titik beku air.
2. Dengan cara yang sama tandai titik di mana cairan sudah stabil ketika termometer ditempatkan di dalam uap air mendidih.
3. Bagilah panjang di antara kedua titik dengan 100 bagian kecil yang sama.
Titik-titik ini ditambahkan pada kalibrasi rata-rata tetapi keduanya sangat tergantung tekanan udara. Saat ini, tiga titik air digunakan sebagai pengganti (titik ketiga terjadi pada 273.16 kelvins (K), 0.01 °C). CATATAN: Semua perpindahan panas berhenti pada 0 K, Tetapi suhu ini masih mustahil dicapai karena secara fisika masih tidak mungkin menghentikan partikel.
Hari ini termometer air raksa masih banyak digunakan dalam bidang meteorologi, tetapi pengguanaan pada bidang-bidang lain semakin berkurang, karena air raksa secara permanen sangat beracun pada sistem yang rapuh dan beberapa negara maju telah mengutuk penggunaannya untuk tujuan medis. Beberapa perusahaan menggunakan campuran gallium, indium, dan tin (galinstan) sebagai pengganti air raksa.
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Termometer_Galileo"











Termistor
Termistor (bahasa Inggris: thermistor) adalah alat atau komponen atau sensor elektronika yang dipakai untuk mengukur suhu. Prinsip dasar dari termistor adalah perubahan nilai tahanan (atau hambatan atau werstan atau resistance) jika suhu atau temperatur yang mengenai termistor ini berubah. Termistor ini merupakan gabungan antara kata termo (suhu) dan resistor (alat pengukur tahanan).
Termistor ditemukan oleh Samuel Ruben pada tahun 1930, dan mendapat hak paten di Amerika Serikat dengan nomor #2.021.491. Ada dua macam termistor secara umum: Posistor atau PTC (Positive Temperature Coefficient), dan NTC (Negative Temperature Coefficien). Nilai tahanan pada PTC akan naik jika suhunya naik, sementara NTC justru kebalikannya.

























Termometer bimetal mekanik
Termometer bimetal adalah termometer yang memiliki 2 buah keping logam yang memiliki koefisien muai berbeda. Sehingga ketika terjadi perubahan suhu pada logam, kedua keping akan melengkung ke satu arah. Apabila suhu tinggi, maka keping akan melengkung ke arah logam yang koefisien muainya lebih kecil. Sedangkan ketika suhu menjadi rendah, kedua keping akan melengkung ke arah logam yang koefisien muainya lebih besar.
keping bimetal tidak hanya digunakan pada termometer bimetal, melainkan juga pada lampu sen mobil, termostat, setrika, dll.
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Termometer_bimetal_mekanik"

SEJARAH KONSTITUSI

SEJARAH konstitusi Indonesia mengalami pasang surut yang cukup
panjang. Terjadi tiga kali pergantian konstitusi mulai UUD 1945, UUD
RIS, kemudian UUDS 1950.
Sejak dirumuskannya pada tahun 1945 sampai tahun 1959, masalah
konstitusi menjadi salah satu fokus perdebatan antarkelompok bangsa
yang sampai satu titik-di forum Konstituante (1956-1959)-sungguh
menegangkan. Hal itu disebabkan saratnya nuansa politik dan ideologis,
yang bermuara pada kehendak memasukkan alam pikiran ideologi dan
politik ke dalam rumusan konstitusi.
Walau demikian, hal demikian tadi sebenarnya wajar dan realistik saja,
melihat kedudukan dan fungsi konstitusi yang demikian penting dalam
kehidupan bangsa dan penyelenggaraan negara.
Dalam perkembangannya, perbincangan mengenai konstitusi mengalami masa
vakum (atau reda) sama sekali sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai
akhir pemerintahan Presiden Soeharto (1998). Trauma atas perdebatan
ideologis dan pengkotakan masyarakat berdasar sikap politik kaum
elitnya di Konstituante menyebabkan UUD 1945 diposisikan sebagai
"jalan keluar" paling aman bagi negara Indonesia.
Adnan Buyung Nasution melalui disertasi doktornya akhirnya membongkar
"mitos" kegagalan Konstituante. Menurut Buyung, mitos itu lebih
merupakan rekayasa politik. Ia ungkapkan bahwa usaha anggota
Konstituante untuk merampungkan tatanan yang akan memperkuat negara
konstitusional sudah hampir selesai ketika ada rekayasa politik yang
mematahkan dialog di Konstituante, dan bahkan lalu menyebabkan
pembubaran badan pembentuk UUD itu.
Hasil penyelidikan Buyung di berbagai perpustakaan membuktikan bahwa
hasil yang dicapai Konstituante cukup besar. Ia menyebutkan dalam tiga
aspek yakni: penegasan komitmen terhadap demokrasi; penegasan komitmen
terhadap hak-hak asasi manusia; dan pengakuan atas masalah kekuasaan.
"Piagam Bandung"-sebutan untuk kumpulan hasil-hasil Konstituante itu
yang amat jarang orang mengetahui-merangkum hasil-hasil Konstituante
dan merupakan rumusan sebuah konstitusi yang (sesungguhnya) amat baik.
***
PADA masa pemerintahan Soeharto (1966-1998) perdebatan
konstitusi-ilmiah sekalipun-sulit dilakukan. Pemerintah melakukan
langkah-langkah sistematis yang pada akhirnya memposisikan UUD 1945
menjadi "kitab suci" negara yang tak boleh diutak-atik, tabu
dipertanyakan, dan haram diubah. Konstitusi yang dirumuskan oleh
tokoh-tokoh pendiri negara, menjadi barang "sakral".
Bagi orang-orang yang mempunyai pemikiran kritis dan alternatif
terhadap konstitusi ini, penguasa meresponnya dengan tindakan represif
dan sering mencapnya sebagai tindakan subversif yang berujung ke
penjara.
Perdebatan publik menyangkut konstitusi baru mencuat lagi 40 tahun
setelah Dekrit Presiden, dengan adanya gerakan reformasi yang
me-lengser-kan Presiden Soeharto. Tuntutan untuk mengamandemen UUD
1945 menjadi salah satu agenda reformasi. Isu amandemen ini didukung
berbagai kekuatan sosial dan politik, termasuk TNI-Polri yang selama
era Orde Baru menjadi andalan yang "mengamankan" UUD 1945 dari kritik
dan upaya perubahan.
Forum kenegaraan yang melakukan pembahasan amandemen tersebut adalah
SU MPR tahun 1999. Media massa-baik cetak maupun elektronik telah
meliput proses pembahasan amandemen UUD 1945 untuk diinformasikan
kepada masyarakat. Tetapi karena keterbatasan waktu dan kolom, masih
banyak aspek dan dinamika pembahasan amandemen UUD 1945 dalam
forum-forum SU MPR itu yang belum terungkap ke publik.
***
BUKU Reformasi Konstitusi Indonesia: Perubahan Pertama UUD 1945 ini
terbit untuk menjawab kebutuhan tersebut. Buku ini secara mendalam
menguraikan apa yang terjadi dan berkembang dalam forum-forum
pembahasan perubahan UUD 1945 selama SU MPR 1999. Hal itu dimungkinkan
karena buku ini menjadikan Risalah SU MPR RI Tahun 1999 yang
dikeluarkan Setjen MPR sebagai sumber referensi utama.
Dari buku itu pembaca dapat mengikuti alur pembicaraan, perdebatan,
persaingan, dan pergumulan, gagasan-gagasan mengenai perubahan
konstitusi yang diperjuangkan sebelas fraksi MPR. Di sinilah letak
kelebihan dan keistimewaan buku ini.
Kelebihan dan keistimewaan lainnya dari buku ini adalah penulisnya,
Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim. Slamet Effendy Yusuf, salah
seorang Ketua DPP Partai Golkar, adalah pelaku langsung proses
pembahasan perubahan konstitusi di dalam forum (selaku Wakil Ketua PAH
III BP MPR dan Wakil Ketua Komisi C MPR merangkap anggota). Sedangkan
Umar Basalim, saat itu adalah Wakil Sekjen MPR (sekarang Sekjen MPR)
yang terlibat melayani teknis administratif serta operasional SU MPR
1999.
Buku ini terdiri dari enam bab, yaitu Bab I Pendahuluan; Bab II
Tuntutan Perubahan UUD 1945; Bab III Pandangan Partai Politik tentang
Perubahan UUD 1945; Bab IV Pembahasan dan Hasil; Bab V Makna Perubahan
Pertama UUD 1945; dan Bab VI Penutup.
Beberapa lampiran penting ikut membantu pemahaman pembaca perihal
perubahan UUD. Lampiran itu antara lain Naskah Perubahan Pertama UUD
1945 dilengkapi tanda tangan para anggota MPR saat pengesahannya serta
susunan dan komposisi keanggotaan fraksi-fraksi MPR dalam pembahasan
di tingkat BP MPR dan Komisi C SU MPR tahun 1999.
Embrio perubahan UUD 1945 sebenarnya telah ada sejak awal berdirinya
Orde Baru, tepatnya tahun 1966. Saat itu MPRS membentuk Panitia Ad Hoc
III yang bertugas menyusun Pelengkap Penjelasan UUD 1945 yang dalam
perkembangannya juga menyusun saran perubahan batang tubuh UUD 1945.
Antara lain yang disarankan untuk diubah adalah masa jabatan Presiden
dan Wakil Presiden (tidak boleh memangku jabatan lebih dari dua kali
masa jabatan berturut-turut); kedudukan dan fungsi kepolisian agar
diatur dalam UUD 1945; adanya ketentuan yang mengatur hak menguji
undang-undang dari MA; serta Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan
dalam UUD 1945 supaya dihapus (hlm 32-34).
Saran menyangkut pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden
baru terlaksana 32 tahun kemudian dalam Perubahan Pertama UUD 1945;
sedang saran hak uji materiil pada MA baru diputuskan dalam rancangan
Perubahan Kedua UUD 1945 dalam ST MPR 2000. Hal itu membuktikan
terlambatnya perkembangan ketatanegaraan kita sehingga apa yang
seharusnya telah terjadi 32 tahun lalu, baru terjadi saat ini.
Akibatnya kemajuan yang seharusnya sudah terwujud dan berjalan baik,
pada saat ini baru dimulai dari titik nol.
Bab empat merupakan "ruh" dan inti buku ini. Di dalamnya memuat secara
sistematis pembahasan berbagai usulan materi perubahan UUD 1945 yang
dikemukakan masing-masing fraksi. Bila membandingkan usulan-usulan itu
dengan materi UUD 1945 maka terasa konstitusi yang kita miliki itu
begitu tertinggal.
Walaupun buku ini tidak hendak menilai sikap fraksi-fraksi, tetapi
ketika membaca bab ini pembaca langsung dapat menilai mana
gagasan-gagasan dari yang kutub paling revolusioner dan progresif,
sikap moderat sampai kepada kutub konservatif.
Dengan menelusuri usulan fraksi-fraksi, kita akan mengetahui fraksi
mana saja yang berhasil memberi kontribusi besar dalam Perubahan
Pertama UUD 1945. Walaupun hal ini dengan catatan, tampaknya tidak ada
satu fraksi pun yang berhak mengklaim dirinya paling berjasa dalam
perumusan perubahan pertama itu, karena sebagian usulan fraksi-fraksi
itu untuk satu isu itu relatif sama.
Memang harus disyukuri, pada forum MPR ini tidak lagi ditemui
persaingan "ideologis" antarfraksi sebagaimana terjadi di BPUPKI dan
PPKI (1945) maupun Konstituante (1956-1959). Kesebelas fraksi yang ada
di MPR, secara umum bersatu kata dalam melakukan perubahan terhadap
UUD 1945, sebagian fraksi hanya berbeda dalam detail-detailnya saja.
Sesuatu yang belum tentu terulang dalam proses pembahasan Perubahan
Kedua UUD 1945 yang saat ini tengah dibahas di ST MPR 2000.
***
PERUBAHAN UUD 1945 pada tahun 1999 ini baru berhasil membahas dua hal
yaitu pembatasan kekuasaan Presiden dan pemberdayaan DPR. Hal ini
lebih disebabkan terlampau sedikitnya waktu. PAH III BP MPR yang
bertugas mempersiapkan rancangan perubahan itu hanya punya waktu
delapan hari (7-13 Oktober 1999), dan pembahasan di tingkat Komisi C
MPR hanya selama dua setengah hari.
Apa makna perubahan UUD 1945 yang pertama kali dilakukan ini? Penulis
mendeskripsikannya dalam tiga aspek: desakralisasi UUD 1945; jaminan
konstitusional berkembangnya demokrasi; dan proporsionalitas kekuasaan
eksekutif dan legislatif (hlm 22-224).
Di luar beberapa kesalahan ketik dan penggalan kata yang kurang
teliti, buku ini sangatlah berharga mendokumentasikan secara "hidup"
suasana persidangan dalam membahas perubahan UUD 1945. Buku ini layak
menjadi referensi utama dalam memahami alam pikiran para perumus
perubahan UUD 1945 di era reformasi. Buku ini juga patut menjadi
bagian penting dokumentasi historis di bidang ketatanegaraan modern
setelah karya klasik M Yamin Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945
yang memuat alam pikiran the founding fathers pada penyusunan UUD
1945.